about
Tuesday, December 28, 2010
Suara Mata
Ada yang bercinta. Bukan kisah mereka yang menghabiskan bersama istrinya di atas ranjang. Hanya sebuah kisah antara dua insan yang sedang benar-benar merasakan nikmatnya hirupan cinta lawan jenisnya.
“Aku lihat di matamu.” Ujarku sambil menoleh pada mukanya. Ia diam sesaat, sepertinya rangkaian kata sedang ia siapkan untuk menjawab.
“Maksudmu Mas?” Jawabnya singkat dan tiba-tiba.
“Tahukah kau sayang, aku begitu mengagumi matamu yang sangat indah. Bisa aku merabanya?”
“Ya, Mas. Semuanya adalah keindahan yang Tuhan telah berikan.”
Aku terlalu merasakan nikmat memegang matanya, hingga sesekali air matanya jatuh dari bulatan itu. Sesekali debu itu terusap tanganku dari matanya, debu yang menjadi bagian tersendiri dari rumitnya hidup. Sedikit kurasakan bagaimana tangan ini merasakan pula adanya sentuhan magis yang mengubah dunia.
“Biar tanganku merasakan sayang. Kau tahu betapa kita merasakan gelapnya jalan yang kita lalui bersama. Aku memegang tanganmu seperti matamu memandang mataku.”
“Ya, Mas.” Jawabnya pelan.
Kami berjalan bergandengan dan menikmati indahnya bersama. Melewati jutaan manusia yang sedang berkembang juga menikmati dunia, namun dengan terangnya bukan seperti kita dalam gelap. Mereka juga bergandengan dengan pasangannya, mereka juga menggunakan tangannya untuk menikmati kakinya yang sedang berjalan. Saling memapah namun sekali lagi bukan dari bagian gelapnya, sementara kami tetap saling bergandengan dalam ketiadaan cahaya.
Sesekali kami tersandung. Setelahnya aku duduk barang sejenak menahan lelahnya kaki yang terus menopang tubuh. Kupandangi mukanya sekali lagi, barangkali setiap waktu. Saat kupegang tangannya, sesekali ia tertawa geli. Kugerayangi itu dan kucubit sampai kami merasa sebuah kemesraan yang begitu dalam melebihi imajinasi mereka. Aku menoleh ke depan, ia masih juga memandangiku penuh takjub.
“Apa kau malu menjadikanku sebagai kawan hidupmu?”
“Ah Mas, sungguh tidak. Aku bangga dengan Mas.”
“Boleh ku pegang matamu?”
“Ya Mas, tentu ijinku telah kuserahkan semuanya pada seorang yang aku percaya.”
“Kau tahu betapa sebuah mata tidak bisa di bohongi, dan kau pasti tahu akan itu. Orang berkata jika kau ingin melihat kebohongan seseorang, lihatlah dari matanya. Mata seseorang tidak pernah bisa berbohong.”
Air matanya jatuh saat aku berkata dengan sedikit bayangan suram. Aku merasakannya ketika tanganku memegang matanya untuk kesekian kali. Jatuhnya menyentuh jempolku, menembus pori-pori dan masuk sampai ke darah yang di bungkus nadi. Rasa dingin itu meresap, hingga saat kuhisap air matanya aku merasakan rasa gelap itu.
“Apa kau yakin aku jujur padamu?”
“Aku yakin Mas. Telah kuserahkan semua kasih ini. Jika Mas tanya seperti ini lain kali aku pun akan jawab hal yang sama. Mas tentu yakin dengan air mata tadi yang aku teteskan, lalu kenapa Mas berkata begini? Apa Mas yang ragu akan cintaku?”
“Tidak, sama sekali tidak. Kau tahu diantara wanita yang kukenal adalah mereka yang telah melihatku sebagai orang yang lain dengan dirinya. Kaulah yang telah menerimaku apa adanya.”
Kupegang lagi matanya, ia menangis lagi. “Hentikan air matamu. Aku tahu kau adalah jiwa yang terpisah dari ragaku. Seperti Adam yang menyerahkan tulang rusuknya untuk Hawa.” Aku terdiam sejenak, “tapi tak apa jika kau ingin terus mengeluarkannya, biar tanganku ini terus merasakan kenikmatan yang tidak terlihat.”
“Ah Mas, kau terlalu berpuitis. Aku tidak perlu itu. Bagiku puitis itu hanya bagi mereka yang memuja kata-kata untuk menggambarkan kesempurnaan rupa mereka. Tidak perlu Mas seperti itu, aku bahagia dengan ketulusan kata-katamu yang telah meluluhkan hatiku.”
“Tidak dapat kugambarkan dengan puisi sayang. Kau adalah lebih dari rangkaian kata-kata di dunia. Jika kurangkai kata indah, itu hanya sebagai ungkapan atas kekagumanku pada jiwa besarmu.”
“Ah Mas, kau terlalu berlebih.” Balasnya tersipu malu.
Kami kemudian kembali berjalan saling menuntun, seakan kami tidak peduli akan mereka yang iri melihat kemesraan ini. Lebih jauh, kami juga tidak peduli jika awan yang iri pada kita kemudian enggan menghalangi sinar mentari, lalu kami merasa dahaga karenannya. Namun, aku selalu percaya dahaga itu hilang oleh kuatnya pegangan tangan kami. Hilang seperti awan yang iri itu tertiup angin kencang.
Kami kembali duduk, padahal kami baru berjalan beberapa langkah. Aku telah memantapkan untuk duduk di sini, sebuah tempat teduh karena tidak tersinari mentari, di bawah pohon yang begitu redup rindang serindang hati kami.
“Mas, aku tahu kau tidak lelah, namun kenapa kita kembali duduk?”
“Biar, biar mereka melihat bagaimana jalan yang kita lalui. Walaupun kita hanya melangkah beberapa langkah, namun bagiku jika kita melangkah bersama, langkah kita terasa panjang dan bermakna.”
“Ah Mas, kau selalu membuatku bangga dengan kata-katamu.”
“Tidak sayang. Itu tidak seberapa, jika di banding dengan apa yang telah aku lalui bersamamu.”
Pohon sedikit bergoyang, tapi kami juga tidak peduli akan itu. Aku masih duduk berdampingan dengan kekasih hatiku. Sesekali aku memegang matanya lagi, ia tidak menangis kali ini. Hanya saja, keringat dari keningnya yang bercucuran dan mengalir menuju matanya yang kurasakan. Aku tahu ia lelah dengan teriknya mentari. Kuseka keringatnya dengan sapu tangan dari kantong celanaku. Hirupan nafasnya terasa sampai tanganku.
“Mari kita lanjutkan.” Aku mengajak dan menuntunnya kembali melewati beberapa langkah lagi. Setiap langkahnya terhitung bagai pengalaman bagi perjalanan kami menuju titik akhir kebersamaan.
“Biar ku pegang tanganmu dan aku berjalan di depanmu, agar kau tidak tersandung jika ada batu di depan. Tetap ikuti aku. Kita tidak akan tersesat. Aku yakin.” Nadaku penuh keyakinan.
“Ya Mas, kau adalah imamku.” Balasnya.
Kami pun kembali berjalan. Tangan kananku memegang tangannya; dingin, senyap, dan begitu menyejukkan. Sementara tangan kiriku memegang tongkat. Kuraba jalan dengan tongkatku. Jalan di depan berbatu, namun tongkatku telah merabanya lebih dulu, hingga aku tidak terjatuh karenanya.
Ulang tahun
Handoko terlalu di pusingkan oleh pikirannya sendiri. Bagaimana tidak, katanya dalam hati. Ia akan menghadapi hari ulang tahunnya yang ke-35. Seharusnya bagi orang-orang menghadapi hari ulang tahun adalah hal yang indah, akan banyak kado-kado atau hadiah dari orang tersayang yang di berikan. Tapi, tidak dengan Handoko. Hari ulang tahunnya adalah musuh tersendiri baginya sekarang.
Dua hari menjelang, Handoko benar-benar berusaha melupakannya. Di lakukannya hal-hal yang membuatnya lupa. Memancing. Handoko pergi memancing. Sebuah pancingan dengan kailnya adalah teman setia di saat Handoko bingung.
Sebuah kali di dekat rumahnya menjadi tempat yang selalu ia tuju. Kalinya besar dengan batu-batu berjejer tidak teratur: besar menjulang menghadang arus air yang kuat, sebagian kecil berlumut; jika terinjak akan terjatuh siapa saja orangnya. Selebihnya hanya berupa kerikil yang terbawa arus begitu saja. Handoko tidak pusing dengan itu. Ia duduk di sebuah batu yang besar tepat di tengah kali.
Siulannya sangat khas. Menirukan lagu masa mudanya. Koes plus –bujangan. Bukan tanpa alas an. Ia masih juga membujang. Handoko diam lama menunggu seekor ikan menghampiri pancingannya. Ia lupa sekarang akan hari ulang tahun itu.
“Berapa usia kau sekarang heh?”
“26 tahun Abang, memang kenapa?”
“Kau belum juga menikah.” Teriaknya sambil tertawa.
“Apa urusannya dengan Abang!” Handoko menggertak. Ucapan tetangganya membuat dirinya muak. Si Batak itu terlalu ikut campur urusannya.
“Hati-hati kau bujang. Bisa perjaka sampai tua kalau kau tak kawin.” Logat batak itu seakan terus terniang dalam pikirannya sampai sekarang.
“Urus saja istrimu itu.”
Hampir terjadi sebuah pertengkaran hanya karena cekcok keduanya, untung Handoko bergegas pergi. Sejak saat itu Handoko benar-benar muak melihat usianya yang semakin beranjak, sedangkan ia belum punya seorang istri. Handoko juga muak kepada tetangganya si Batak. Yang lebih mengerikan, ia seakan membenci tanggal lahirnya. Sialan. Umpatnya dua tahun lalu.
Pancingannya bergoyang. Kailnya terasa ada yang menarik. Lamunan Handoko buyar seketika.
“Dapat.” Ia berteriak di riak air dengan kuat serta kuat menarik pancingannya. Sebuah kepiting tersangkut sambil mencoba melepaskan diri, “sial.” Katanya sambil melempar kepiting jauh ke arah hulu.
Sekarang umpannya di ganti lagi, cacing tanah yang dibawa Handoko dari sawah kembali di ikat pada kail. Handoko bingung kenapa ikan tidak satu pun yang menghampiri kailnya.
“Lihat anak kita yang lucu. Matanya mirip aku, sedangkan ia cantik mirip ibunya.” Kata Handoko bahagia.
“Ia mas. Akan kau beri nama siapa anak kita?”
“Terserah kau saja. Aku ikut. Asal jangan Tukiyem saja.”
“Ah, kau ini mas bisa saja.” Istrinya tersipu malu.
Lamunan akan kejadian beberapa tahun ke depan juga buyar. Kailnya kembali di tarik. Ia berharap itu ikan. Ikan Mujair. Pikirnya sambil menariknya.
“Binggo. Ikan mujair.” Serunya sendiri di tengah lamunan yang hilang sesaat.
Pancingannya diletakan sambil ia mencari keresek untuk tempat ikan. Senyumnya terus mengembang tiada henti. Siulannya semakin keras ia lantunkan.
Dari dalam riak air sesaat terdengar sebuah ucapan aneh, “Dua hari lagi Handoko.” Katanya tertawa puas. Handoko terperanjat dan menoleh kesegala arah. Nafasnya mencium gelagat aneh, tiba-tiba ia ketakutan setengah mati. Keheningan muncul perlahan sampai tidak sama sekali terdengar suara, Padahal baru saja riak air terdengar keras, hanya suara detak jantung yang begitu cepat menggema memenuhi ketakutannya.
“Siapa?” Katanya takut, “semoga bukan hantu.” Mulutnya berkomat-kamit. Namun bukan sebuah jampi-jampi, hanya kata-kata untuk membuatnya tidak terlalu takut pada situasi tersebut.
“Tidak perlu takut Handoko. Tidak perlu takut Handoko. Tidak perlu takut Handoko.” Katanya berulang-ulang.
“Tinggal dua hari lagi. Kau harusnya merasa bahagia.” Kata suara aneh itu lagi.
Handoko menutup telinganya. Pancingannya jatuh ke air. Cacing-cacing melarikan diri dari plastik.
“Tidak ada suara lagi.” Katanya merasa menang, “ia hanya pikiranku.” Tantangnya.
Buah kelapa jatuh tepat di belakang batu tempat Handoko duduk. Handoko bertempur dengan ketakutannya, ia melompat ke air. “Siapa itu? Kau beraninya main belakang denganku. Hadapi aku jika kau berani.” Teriak Handoko menantang dalam air. Sekarang tubuhnya basah kuyup. Hanya rambutnya masih kering.
“Sial hanya sebuah kelapa. Aku tidak perlu takut.” Bentaknya sambil nafas terengah-engah.
“Dua hari lagi Han. Dua hari lagi.”
“Kau datang lagi. Sebenarnya siapa kau pengecut. Keluar kau.” Nadanya amat menentang, ia sekarang bersiap untuk melawan. Air di sekelilingnya di tepuk hingga cipratannya membasahi batu tempat ia duduk tadi.
Pancingannya sudah jauh hanyut terbawa air. Cacing-cacing juga kabur. Hanya potongan tubuh cacing mati yang masih ada di dalam plastiknya.
“Kau takut. Kenapa kau diam!!”
“Kau yang takut Handoko. Kau yang pengecut. Kau yang berlari jauh menghadapi aku.”
“Siapa kau?”
“Aku adalah dirimu dua hari lagi.”
“Apa.” Teriak Handoko memperjelas hal yang benar-benar aneh itu.
“Aku tanggal 24 Januarimu.”
“Hahaha, kau bohong. Tidak ada tanggal yang bisa hidup. Buktinya kalender-kalender di rumahku juga tidak bicara, padahal tanggalnya banyak melebihi dirimu yang hanya satu hari.”
Handoko merasa dirinya sinting, ia tidak lagi menjawab kata-kata si 24 Januari. Lalu ia sengaja menutup lagi telinganya sambil naik ke atas batu itu lagi.
“Selamat ulang tahun Handoko.”
“Ya.” Jawabnya refleks, “hei kau menantangku.” Handoko melanjutkan setelah ia sadar jawaban tiba-tibanya itu.
“Kau benar-benar penakut. Kau takut olehku. Juga oleh si batak itu bukan.”
“Jangan kau sebut namanya lagi di hadapanku. Aku muak dengan si batak itu, juga denganmu.”
“Kau ini Handoko.” Kata si 24 Januari.
Handoko mengambil sebuah kayu. Tangannya kuat mengepal, sekarang Handoko siap untuk berperang dengan musuhnya yang datang dari riak air. “Jika kau tidak keluar. Aku yang menang.” Teriak Handoko. Kayu itu di bantingkan hingga riak air itu menjadi tidak menentu bunyinya. Cipratannya semakin membuat handoko basah, seluruh tubuhnya basah.
“Lihat siapa yang menang?” Sekarang Handoko benar-benar marah, namun terkekeh setelah lama tidak terdengar suara itu.
Handoko membusungkan dadanya. Sebenarnya ia sangat kelelahan, keringatnya bercapur air, nafasnya terengah-engah, dan bibirnya berkomat-kamit menandakan ia merasa menang dalam pertempuran dengan musuh yang tidak nyata.
“Kau bodoh Handoko. Kau merasa menang dariku. Sungguh bodohnya dirimu.”
Handoko kaget, suara itu muncul lagi. Lantas dengan cepat ia membalas, “Aku akan selalu menang, si batak itu juga akan kupukul jika aku berniat. Aku selalu menang. Hanya, waktu itu aku tidak mau, karena ia adalah tetanggaku.” Handoko bicara dengan nafas yang masih belum pulih seperti biasa.
“Kau merasa menang dariku?”
“Karena kau tidak menampakan diri, maka aku menang toh?” Tanya handoko sembari terus membusungkan dada, tangannya di lebarkan dengan jari yang sedikit di gerak-gerakan. Ia melihat sekelilingnya dengan angkuh.
“Bagaimana mungkin Handoko. Buktinya kau masih berlari dariku.”
“Tidak aku siap melawanmu.”
“Percuma karena aku bukan lawanmu.”
“Baik, bagaimana agar aku bisa menang darimu?”
“Mudah saja. Tunggu dua hari lagi.”
“Berarti kau yang pengecut. Kau yang melarikan diri dan bersiap dua hari lagi bukan?” Bisik Handoko pelan pada riak air tempat munculnya suara itu.
Handoko memeras bajunya. Cucuran keringat panas dan air cipratan yang dingin itu jatuh membasahi kerikil pinggir kali. Kemudian ia keringat di mukanya, “Baiklah, aku sudah muak bertempur denganmu. Jika saja kau tampak menyerupai manusia, akan kupukul kau dengan tanganku, tidak perlu dengan kayu ini. Sekarang katakan, bagaimana agar aku menang dalam pertempuran denganmu dua hari lagi.” Handoko mencoba untuk bersabar. Nadanya melunak. Sebenarnya ia sudah benar-benar lelah. Namun, ia tidak berniat pulang karena ia enggan di anggap pengecut.
“Begini, jika kau ingin menang, maka buatlah hari itu begitu menyenangkan…”
“Caranya.” Tukas Handoko memotong.
“Begini, kau harus bisa membuat lelucon di hadapanku.”
“Tapi kau tidak nyata bukan? Lalu apa aku harus membuat lelucon untuk diriku sendiri. Kau gila.”
“Kalau begitu kau kalah.” Bisik si 24 januari.
“Baiklah-baiklah, akan kulakukan. Bagaimana kalau sekarang saja leluconnya?” Pinta Handoko.
“Berarti kau takut jika begitu.”
“Tidak.”
“Kau menghindar lagi.”
“Ya.” Jawab Handoko kaget, ia tidak memikirkan terlebih dahulu kata-kata yang ia keluarkan sekarang, “Tidak. Tidak. Aku berbohong tadi, aku tidak akan menghindar barang sejengkalpun.” Bantahnya kemudian.
“Sudahlah Handoko, aku tahu dirimu sejak lahir. Ucapanmu yang tadi adalah kata hatimu. Aku bisa saja kau kalahkan jika nada bicaramu sopan dan terutama jujur dari hatimu.”
Handoko terdiam lama. Ia merasa di kalahkan oleh tanggal aneh yang bisa berbicara. Mukanya memerah seperti tomat matang, dan merekah seperti daging buah delima. Bayangan-bayangan akan ejekan dari segala arah muncul lagi dengan cepat.
“Handoko kau kalah lagi oleh tanggal lahirmu sendiri.”
“Diam kau batak. Kau mau berkelahi lagi denganku.” Tantang Handoko.
“Ah, kau tidak akan berani menghadapiku, hadapi saja dirimu yang semakin tua Handoko.” Si batak itu benar-benar mengejeknya sekarang.
“Tidak.” Handoko memegang kepalanya, bayangan si batak muncul lagi untuk menantangnya.
Siang itu adalah sorotan matahari yang kuat. Handoko di buat gerah olehnya. Nada bicaranya seperti belut yang terkena pasir panas. Ia berguling-guling tidak menentu di atas pasir pikirannya. Sepertinya semuanya selalu membuat handoko kalah. Cacing itu juga menertawakannya meski sudah berupa potongan-potongan kecil tidak bernyawa. Potongan itu bergoyang mengejek Handoko menandakan sebuah tarian kemenangan. Handoko muak dengan semuanya.
“Kau tidak nyata.” Handoko mencoba memenangkan hatinya sendiri.
“Kau ini Handoko.” Si 24 Januari tertawa keras.
“Tidak.” Handoko lari pontang-panting meninggalkan kali.
Pancingan dan bajunya sudah tidak lagi ia pikirkan. Hanya dua hari lagi ia akan berulang tahun. Si batak pasti akan mengejeknya lagi.
“Tidak.” Teriak Handoko sambil berlari pulang.
Ibarat pepatah
“Kemarin.”
Apa kau tertawa saat itu. Padahal ketika itu kau harusnya menangis sambil merenung. Membuka bukan menutup. Sampai sadar
Bunga tidak bermekaran bulan ini
September kelabu
Daku harus menunggu kehadiran taman bertahun puluh, atau ratus
Bukan dengan diam selalu
Menginjak, melangkah, berbuat, agar tidak runtuh
Kita akan bernafas bersama, menyadari bagaimana agar semua tiada lagi kerisauan dengan keadaan yang sebenarnya sebuah keinginan untuk menghamparkan banyak impian
Datang, datanglah, datang pada kami dengan kesejukan
Biar kau jaga dan kujaga
Manusia kotak-kotak
Suami-suami duduk depan televisi sambil mengecilkan volumenya, lalu kembali menghirup kopi dan sebatang rokok
Ibu-ibu menjawab telepon, “Kecilkan volumenya!” bentaknya pada televisi
Anak-anak duduk sambil menunggu kartun kesayangannya muncul. Hore… sesaat lagi katanya
Wanita muda dan pria, mereka duduk depan meja komputer, menyalakan situs pertemanan lalu berkata, “Hai.”, hai.. pada setiap muka
Nenek duduk menunggu datangnya keadaan yang menyatukannya dengan kakek
Aku mengutuki keadaan diriku
Sementara kucing membuang tahinya dekat pot di teras depan
Silhouette
di malam buta
bukan buta-buta
Warnaku gelap, aku berwarna tak cerah
melebihi malam, menyerupai arang
Sebut saja ia malam
Mengenang kelangsungan waktu saat mereka terbenam
Hiruk pikuk, kicau, dan nadanya tidak terdengar
Sampai pagi
ia lelah
ia malam yang lelah
Ah, andailah kusebut ia bulan
ia desember berbintang, ia menunggu bagai kepompong
Setengah ia akan menjadi baru
Andailah ia desember
Oh Tuhan, sebut saja ia mata dari penglihatan seorang buta
Yang hina, yang lelah, yang tidak sama sekali berdaya
Sebut saja ia…
Beri waktu pada ia semalam lagi
Aku bukan anak dukun beranak
“Enam bulan lagi aku akan menjadi anak manusia”
“Ya, tunggu saja sampai enam bulan lagi. Di luar kau harus menjadi orang yang berguna, menyayangi kedua orangtuamu, menyayangi bumi tempat tinggalmu, dan terlebih menyayangi Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari sperma dan ovum.” Malaikat berkata.
“Lama sekali di dalam sini. Aku sangat merasa enak dan hangat di sini, namun aku telah tidak sabar ingin menghirup udara yang tidak hanya dari paru-paru bakal calon ibuku.”
“Tunggu enam bulan lagi.”
Beberapa dari kami sudah sangat tidak sabar akan itu, terlebih saat kaki dan tangan kami menendang rahim ibu kami. Kami ingin segera mengetahui wajah ayah yang tampan, wajah ibu yang cantik, dan bagaimana dengan wajah dunia. Beberapa dari kami ingin segera menangis bahagia di pelukan ayah dan di dekapan ibu.
“Tunggu enam bulan lagi.”
Ini baru bulan ke-tiga ketika si jabang bayi masih belum menyerupai bentuk manusia yang seutuhnya. Tangannya masih belum terbentuk, matanya masih belum terbuka untuk merasakan gelapnya alam rahim, dan bentuknya lebih menyerupai alien berkepala besar. Ini masih beberapa bulan lagi untuk menjadi bentuk manusia utuh dalam rahim. Punya mata, telinga, hidung, tangan, kaki, dan lainnya. Juga masih beberapa bulan lagi sampai kami di bentuk sebagai lelaki yang tampan atau perempuan yang cantik jelita. Masih beberapa bulan lagi.
“Tunggu enam bulan lagi.” Aku benci mendengar kata-kata itu, bahkan kamu pun akan sangat benci dan bosan mendengarnya.
000000000
Wanita itu. Wanita cantik yang sedang berdiri mematung di dalam kamar mandi. Entah siapa wanita cantik itu. Wanita itu tidak sedang mandi, juga tidak sedang buang air besar. Wanita itu hanya sedang berdiri memegangi sebuah kotak tipis berwarna putih. Entah apa itu.
Wanita itu sangat risau, detak jantung yang jadi ukurannya. Bibirnya sedikit ia gigit, dan matanya sedikit berharap. Ia, wanita itu masih berdiri dan menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar mandi yang licin dan dingin. Harapan itu masih ada.
“Semoga tidak terjadi.”
Aku semakin bingung. Apa maksud wanita itu.
“Tidak.” Wanita itu menangis sejadinya. Isaknya sedikit ia tahan. kran dari shower di putar. Air itu menetes, menetes pula air matanya. “Tidak.” Tangisnya tidak bisa ia tahan sekarang. Ia menjerit. “Tidak.” Ia memukulkan tangannya yang halus ke dinding. “Tidak.” Air matanya tidak berhenti mengalir. “Tidak.” Tubuhnya di basahi dengan air. “Tidak.” Ia merebahkan tubuhnya di bathtub. “Tidak.” Ia, wanita itu menenggelamkan sendiri tubuhnya, seperti menenggelamkan harapannya sebagai wanita muda. “Tidak.” Ia menjerit begitu keras, semakin keras, dan keras. Melebihi air di shower yang telah lama menjerit.
Jalan hidupnya masih panjang, tapi ia begitu merasa pendek. Seakan ia ingin mengakhiri saja hidupnya. Dengan cepat hingga ia tidak ingin mengeluarkan tubuhnya dari air yang biarpun dingin merasuk, biarpun dingin membunuh, juga biarpun membuat menggigil amat sangat. Sangat.
“Bangunlah Bu.” Si jabang bayi memberinya sebuah pertanda. Tapi ia tidak bisa melakukannya, tangan dan kakinya belum terbentuk.
“Bu, aku mohon bagunlah. Tidakkah kau merasa dingin, begitupun aku. Aku adalah buah dari cintamu dan calon ayahku yang entah siapa. Bu, aku mohon bangunlah. Tidakkan kau tahu aku ingin seperti yang lain. Yang sedang bahagia menunggu enam bulan lagi, yang mungkin juga tidak sabar menunggu beberapa bulan lagi. Sekali lagi Bu, bangunlah. Tidakkan kau kasihan melihat diriku yang kau sesali.”
“Tidak.” Pelan jawabnya.
00000000
Lain denganku. Aku telah sangat bahagia menanti kebangkitanku yang tingga tiga bulan lagi. Kaki dan tanganku sudah hampir sempurna. Ibuku tidak pernah menenggelamkan dirinya di bak mandi seperti ibumu yang sekarang melakukannya. Aku sangat bersyukur ibuku adalah wanita yang sangat mengerti aku. Ia memberiku sayuran segar, susu yang enak dan juga kasih sayang yang tidak bisa ku gambarkan. Saat aku belum bangkit pun ibuku seakan telah membangkitkan semangatku untuk hidup ke dalam dunia.
“Aku sayang Ibu, akan kusabar menunggu tiga bulan lagi.”
“Sebentar Nak, beberapa saat lagi kau akan menjadi manusia sempurna. Jika kelak kau lahir sebagai perempuan, aku akan beri kau nama Marni, dan jika lelaki akan kuberi nama Satria agar kau seakan menjadi satriaku dan menjangaku sampai aku pergi. Sabar Nak.” Ibu mengelus perutnya juga tubuhku di dalamnya.
0000000
Wanita itu, yang tadi menggigilkan tubuhnya di kamar mandi. Sekarang ia berjalan sempoyongan dan gundah menuju sebuah rumah kecil di dalam kebun. Kegundahannya amat sangat. Hingga pikiran dan langkahnya sendir tidak ia ketahui jalannya. Ia biarkan saja kegalauan itu sampai ia menginjakan kaki di depan rumah itu. Rumah sejuk.
Wanita itu sekarang sudah tidak lagi gundah. Tujuannya sudah ia mantapkan. “Maaf.” Kata itu keluar saat kaki kanannya masuk ke teras rumah itu.
“Dimana kita Bu.”
Wanita itu telah masuk ke dalam rumah. Ia duduk di atas dipan dari bamboo musim kemarau. Seorang wanita lainnya menghampirinya. Keduanya sangat cantik, wanita itu dan sang empunya rumah yang ternyata ibuku. Apa yang mereka lakukan di sini. Pikirku.
Tiba-tiba saja mereka bercakap panjang. Wanita itu seakan amat sangat berharap Ibuku mau menolongku. Sedangkan Ibu hanya bisa menggelengkan kepala. Wanita itu mengeluarkan sebuah amplop tebal. Entah isinya apa. Ibuku masih sedikit menggelengkan kepala.
“Tolonglah Mbah.”
Di sodorkannya amplop itu lebih dekat ke tangan Ibuku yang oleh wanita itu di sebut mbah. Aku tidak suka nama itu, ibuku masih muda dan pantas di panggil tante atau kakak.
“Atas nama perempuan. Sungguh aku memohon. Berapapun biayanya.”
Ini seakan menjadi rizki bagi Ibuku dan aku tentrunya. Aku mungkin akan sesekali merasakan bagaimana lezatnya daging sapi yang tentunya belum pernah aku rasakan . Sementara ibuku masih menggeleng. Wanita itu tidak putus asa. Kembali ia ceritakan kisahnya. Beberapa jam, hampir lama sekali. Sesekali wanita itu menahan isak tangisnya juga.
“Aku takut Nyonya, lihat sendiri keadaanku. Kau tentu takut jika posisimu berada di pihakku.”
“Sekali saja Mbah. Aku mohon. Aku malu jika harus menanggung ini. Coba Mbah ada di posisiku. Aku mohon.”
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Namun sesaat kemudian terdengar suara jeritan si jabang bayi dari rahim yang lain. Di iringi erangan kesakitan dari wanita itu. Aku semakin tidak mengerti terlebih ibuku mengunyah daun sirih yang tidak aku ketahui kebiasaan itu.
Sementara jeritan itu semakin keras. “Bu, apa yang kau lakukan. Tidakkah kau takut dosa, tidakkah kau sayang pada buah cintamu, tidakkah kau mendengarku yang sedang menjerit sakit, tidakkah kau mau melihatku sedang tersenyum dan menangis di pangkuanmu.. Apa yang kau lakukan Bu. Hentikan, atas nama Tuhan dan cintanya kepadamu, kepada kita berdua.”
Aku mendengarnya, jeritan itu begitu keras. Aku mengerti sekarang apa yang dilakukan Ibuku dan Wanita itu. Rasa ibaku timbul bergejolak.
“Bu jangan lakukan. Aku tidak tega melihatnya. Apakah kau juga tega melihat jika aku di keluarkan paksa seperti jabang bayi itu. Aku juga mohon Bu, hentikan.”
Jeritan kami berdua tidak mereka indahkan. Sesaat jeritan jabang bayi itu terhenti. Ia mati. Mati di tangan Ibuku. Di harapan yang hilang di wanita itu.
“Bu, aku membencimu. Kau membunuh sesamaku. Jika aku bisa keluar dan menjelma menjadi lelaki dewasa, akan ku tampar dirimu meski aku sangat menghormati dan menyayangimu.”
Harapan itu hilang mengalir. Diiringi aliran darah yang keluar dari rahim wanita itu. Ibuku membungkus janin si jabang bayi. Terakhir aku mendengarnya, mendengar jabang bayi itu berkata, “Bu, aku akan tetap menyayangimu sebagai ibu. Tapi akan benar-benar mengutuk hari ini juga wanita yang kau sebut Mbah itu.”
“Maaf saudaraku. Ini salah Ibu kita berdua. Aku juga benar-benar membenci ibumu dan ibuku meski aku sangat menyayangi mereka seperti kau menyayangi kaum wanita yang mulia.”
Aku diam sendiri di dalam sini. Di perut wanita yang menjadi ibuku kelak. Aku anak dukun beranak.
“Beberapa bulan lagi.”
“Beberapa bulan lagi.”
Sajak di negeri sebrang
kaum-kaum kecil dalam bingkisan sebuah kerajaan surgawi
penghuni-penghuni dengan nama-nama berupa kepolosan, layak seperti dibodohi
ah, sudahlah tak perlu mengutuk satu nama dan peristiwa
ini omongan ketika perut bukan lagi alasan untuk dibohongi, oleh surga
senandung juga nyanyian bagiku seperti untaian kata-kata yang berlalu
aku lihat paman, bibi, emak, nenek, masa seorang kakek
hijrah katanya
lho, Nabi juga hijrah dalam sejarah
seorang mengisahkan pada kami bahwa Beliau datang dengan diam, berlalu menjalani kisah sedih namun bermakna baik bagi seluruh kaum
itu bedanya sejarah
aku direnggut, dipisahkan dari kaumku
aku bukan Nabi, bukan yang tidak bersedih dan suci
aku hina, lho
lho, bukannya yang merapatkan perahunya di ujung dermaga bernama gedung apa itu namanya saya lupa
perut bukannya tidak salah, tapi lapar bisa diobati oleh tawa-tawa mereka di halaman depan teras
sesekali ingin kukutuki “ya”
mereka mengambil keluargaku satu per satu
Tuesday, December 7, 2010
Wednesday, September 15, 2010
Sajak Biasa
Seperti biasa
Seperti hari biasa
Biasa seperti hari, biasa!
Hari biasa
Hari-hari biasa
Hari ibu tanpa wanita
Hari pahlawan tanpa merdeka
Monday, July 5, 2010
Tanah Leluhur
Aliran sungai sedang tidak terlalu besar. Riak-riak air mesra menyentuh bebatuan berlumut. Kicau udara meniup daun-daun kelapa. Setangkai ranting mahoni jatuh terlalu cepat menabrak kejernihan air. Cahaya matahari pelan menyentuh membuat kilauan air bagai permata, setitik celah diantara daun-daun yang mulai berbuah. Harum bunga sepatu memancarkan kedalaman rasa dari hasil dorongan sang kumbang.
Sentanu mengingat kembali kenangannya akan sungai ini. Beberapa kali ia membenturkan kejenuhan dengan duduk menyepi dalam keadaan yang tidak ia buat sendiri, alam menjadi begitu mesra menemani. Kekasih-kekasih hati dari buayan dan lambayan pikiran membuat selalu merasa bagai dalam ketidakbimbangan. Ia menyepi seperti hari-hari biasa.
Laksana sepasang kekasih dalam kisah cinta Ramayana. Keduanya adalah sejenak rasa yang ingin berpadu dalam keelokan tiada tara. Bumi telah merestui saat ia meminta restu dengan menjadi sepasang kaki penjaga, sepasang mata pengintai cinta. Sepanjang hidup, adalah kisah ini yang paling ia nikmati. Beragam cara menjadi sekedar pemanis yang terpasang subur dalam kenangan. Ia memposisikan diri sebagai satu makhluk yang sedang merasa seperti tidak lagi berbenturan dengan kehendak bumi yang marah. Seperti gedung tua di ujung kota, belasan pohon, dan ribuan udara panas. Ia datang dengan meninggalkan semua yang telah menjadi hari-hari biasa.
Maharani, wanita yang sedang ia amati dalam bayangan muncul. Rambutnya laksana daun pinus tertiup angin melambai memanggil kegundahan yang tidak bisa ia hampiri. Matanya adalah sepasang buah tempat ia menyandarkan lelahnya. Ia kembali teringat, beberapa bulan lalu, masih belum juga ia lupa.
Kedatangannya hanya sebagai sebuah jawaban atas rasa rindu pada dunia, namun kekasih hatinya tidak jua mendukung. Cahaya berbeda memisahkan keduanya menjelang bencana-bencana terus berdatangan di sana –tempat Maharani menetap-
“Aku menemukan apa yang telah menjadi keinginanku selama hidup.” Urai Sentanu padanya suatu pagi ditelepon, sementara suara lain dari ujung sana menduga hal yang berbeda.
“Kau melakukan tugas dengan benar, apalagi kau punya pendamping dalam kesendirian tanpa aku.”
“Apa yang kau tahu tentang kesendirian?” Tanya Sentanu cepat.
“Aku!”
Sentanu tidak terlalu yakin dengan jawaban itu, meski hatinya terus memaksa untuk meyakinkan. Pikirannya sudah dipenuhi hal busuk dari dugaan kekasihnya. Bimbang sudah ia memikirkan jawaban. Entah harus dengan hati atau pikiran. Sebanyak yang ia tahu, ibarat pepatah, laksanakan kehendakmu pada mereka dengan hati, namun gunakan pikiran saat menghadapi dirimu. Sekarang pikiran dan hati itu berperang.
“Kunjungi aku suatu saat jika kau sedang dalam kebimbangan.” Pintanya, “aku selalu suka di sini. Ini rumah.” Lanjutnya sambil menutup telepon.
Beberapa waktu berjalan, cinta begitu tidak bisa ditebak dengan sebuah pikiran, bahkan hati tidak lagi mampu bicara. Maharani, gadis kota yang begitu metropolis, yang selalu membuat dirinya dalam kemudahan dan pandangan kedepan yang tidak selalu harus sesempit uraian manusia desa. Sentanu mengenalnya ketika masuk jurusan yang sama di universitas. Keduanya dipertemukan tanpa rencana –kecuali Tuhan yang berencana. Hari-hari mereka habiskan dengan beragam argumen tentang masa yang akan datang. Hingga saat mereka memutuskan akan menjalin ikatan suci dalam rumah tangga.
Restu bumi adalah ayah, dan restu langit adalah ibu. Keduanya jauh namun tak bisa terpisahkan. Payung bumi adalah langit, selayang pandang langit adalah keindahan bumi. Langit bukan menang karena tinggi, namun semata karena dibuat posisi yang baik dalam hidup.
Seminggu sudah ia ada di kampung kelahirannya. Seketika semua ingatan kembali indah. Marni sang ibu hanya berharap agar anaknya datang kembali membawa kekasih hati yang akan menjaga mereka di hari tua kelak, sang ayah hanya mengangguk ketika keputusan Sentanu tercapai.
Maharani, begitu masalahnya. Ia adalah gadis kota, seperti gadis-gadis kota lainnya. Pikiran ketakutan akan rasa sulit yang akan dialami kelak menjelang hari tua membayanginya. Semula Maharani setuju ketika sang calon suami pamit ke tanah leluhurnya. Namun, panggilan jiwa menjadi sebuah hal yang terlalu indah untuk melepas kembali tanah itu.
“Kau terlalu beralasan,” sanggahnya, “bagaimana dengan pekerjaanmu yang telah sulit kau cari, kau lepaskan begitu saja?”
Suaranya bising seperti knalpot bus di depan. Beberapa kali nada percakapan mereka meninggi, udara membuat panas semakin panas. “Baiklah, dengarkan.” Sembari menarik nafas Sentanu melanjutkan, nadanya dibuat pelan, “Aku punya sawah dan ladang. Aku bisa hidup dari itu.”
“Kau sama saja dengan orangtuamu. Kuno.”
“Jangan bawa mereka dalam hal ini, ini hanya tentang keinginan hatiku yang begitu besar tertarik. Tanah itu yang pertama aku pijak, dan tanah itu memanggil kembali kaki yang telah lama pergi.”
“Tanahku di sini.” Kata Maharani tanpa menoleh, matanya berbinar sedikit berair mata, pandangannya lurus menembus kaca mobil, dan tangannya masih tertanam di stir mobilnya –memutar ke kanan dan lurus sampai ujung jalan depan rumahnya.
“Dugaanku kau beralibi.”
“Wanita?”
“Apalagi.”
“Kau kenal aku selama tujuh tahun sejak kita sama-sama menginjak kaki di gedung sana. Ini adalah kecurigaanmu yang pertama sejak aku mengenal sifat welasmu.”
“Cemburu adalah tanda rasa sayang seorang manusia.”
“Lantas, apa yang membuatmu cemburu? Toh aku tidak lagi memikirkan hal itu, kita sudah sama-sama dewasa.”
Mobil berhenti, sebuah rumah mewah berlantai tiga samar terdengar dari jedela samping. Pagar setinggi lima meter kokoh berdiri. “Sudahlah.” Teriak Maharani sambil membanting pintu mobil. Sentanu hanya diam tanpa kata, ia mengingat kembali kata-kata yang terucap sepanjang perjalanan tadi. Satu demi satu ia uraikan, dan rasanya tidak ada hal yang sengaja ia buat salah. Semuanya atas nama kasih sayang pada dua keindahan ciptaan Tuhan.
“Nanti malam kuajak kau kesuatu tempat.” Pinta Sentanu sambil melangkah keluar dari garasi. Tangannya mengusap air mata yang jatuh menyentuh bibir mungil, setelahnya ia mengusap bahunya mesra.
Dalam keindahan Tuhan mencipta, segala yang ia beri pada makhlukNya adalah hal yang tidak bisa dilukis dalam keadaan sadar dan akal logika. Cahaya adalah sebuah terang dari kegelapan yang Ia buat, bulan adalah sekiranya setitik keindahan pada malam, bintang menambah mesra uluran kesempurnaan.
Sentanu menunjuk sebuah bintang terang. Dari atas bukit semuanya tampak indah dan mempesona setiap mata. Maharani membungkus tangannya dalam jaket, lebih dalam dari dinginnya malam. Ia melihat arah bintang itu berdiri dan berkedip.
Manusia adalah makhluk berakal dan berpikir untuk segala ciptaan mereka. Olahan tangan mungil mereka mampu mendirikan kekosongan bumi dengan segala yang telah terpikir. Bintang-bintang dari atas sana menjulang dan memberi hal indah hingga mereka mempu menemukan bintang di bumi.
Sekonyong-konyong pandangan Maharani juga tertuju pada sebuah bintang di bawah bukit. Berkedip dengan skala kecil lalu hilang ketika tertutup awan. Sentanu tersenyum mesra pada kekasih hatinya, dipegang tangan Maharani, kemudian ia letakkan di kehangatan dadanya. Ini adalah kehangatan cinta, dan tidak ada yang lebih hangat dari cinta yang Tuhan berikan. Atas nama Dirinya, dan atas nama Cintanya, ia serahkan semua yang telah menjadi panggilan bagi kehidupan manusia kedepan.
“Aku menghargai apa yang menjadi pendapatmu, terlebih rasanya sangat sulit meminta dengan paksaan. Aku sudah terlalu dewasa untuk merengek, dan kau sudah terlalu tua untuk tidak memikirkan sesuatu tanpa logika. Jika suatu hari kau kubawa pada indahnya bintang di langit tempat kelahiranku di sana, kau akan tahu kenapa aku memilih pulang.”
Maharani diam tanpa bahasa, tangannya kembali diselipkan, kali ini pada saku celananya. Sementara galau pikiran membuat ia tidak juga memutuskan keinginan calon suami yang dikenal mempunyai keindahan budi, lebih dari keindahan bahasa. Dipandangnya Sentanu penuh tanya, “Bagaimana dengan hari esok?”
“Itulah bedanya Tuhan dan manusia.” Kata Sentanu pelan.
Sungai mulai tidak tenang saat pancingan Sentanu kembali disambar ikan, suasana hening berubah ricuh saat pemuda lain menghampiri sambil berteriak girang. Tarik ulur bagai roda hidup, teriak bagai suara kemenangan sesaat. Ini ikan yang ke-sembilan, ukurannya lebih besar dari dugaan, seeokor ikan nila tersangkut di ujung kail yang tajam.
“Sentanuuuuu.” Teriak seorang wanita dari atas batu di dekat air terjun, suaranya tidak lagi asing di telinga Sentanu. Sapaan lembut nan mesra dan menyejukan.
Sentanu melempar pancingannya cepat, bergegas langkahnya melompat melewati gugusan batu-batu kali. Keduanya sampai di sana, di ujung sebuah air terjun yang mengalir deras berwarna putih. Sentanu tersenyum sambil mengatur nafas.
“Selamat datang di keindahan yang nyata.” Sapanya.
Nina-nina, bobo, bobo
Malam ini, entah sudah berapa waktu ia habiskan di jalanan. Pandangannya dibuat lurus, sedang matanya tidak juga berhenti bergetar seakan ia tidak bisa memandang kedepan. Lalu lintas sedang sepi, ujung dari belokan jalan hanya berisi sampah-sampah sisa bungkus makanan. Wanita itu memandang ke arah belokan, berkedip, lalu diam menunggu detakan waktu yang semakin bergema. Ia turun dari trotoar, sejurus kemudian ia menari di tengah jalanan kota. Sepasang mata berlalu hanya dengan tontonan, setelahnya mereka tidak juga bertanya tentang wanita jalan di ujung malam. Dan selebihnya, gertakan-gertakan asap dari knalpot hanya datang, tertiup, dan terbang. Dengan cepat menghilang diterkam gelap.
Nina, begitu nama itu disebut. Tidak lebih dari empat huruf, tidak kurang dari satu kata. Hanya Nina. Dagunya menjadi tajam saat ia berjalan menunduk, seakan jalanan ikut serta menancap pada setiap gerak. Rambutnya selalu hitam. Kaki tumpuan ia berdiri menjadi kokoh berakar ketika diinjaknya sebuah jalanan yang sepi. Jika tangannya memanggil, punggungnya sedikit terangkat lalu kemudian membungkuk seperti kalkun. Saat ia memandang ke arah jam tangan, selendang hitamnya terurai.
Tepat pukul satu. Tangannya meraih sesuatu di tas merah bermotif klasik. Dengan cepat jari-jari itu memainkan sebuah benda berisi harapan-harapan kenangan dan kepedihan. Kepulan-kepulan asap menjadi teman sepanjang ia menghabiskan sisa malam tanpa harapan akan esok. Segera ia mengubah posisi duduknya, dengan cepat punggungnya disandarkan pada sebuah tembok berisi coretan-coretan tidak penting –tidak lebih dari kata-kata kiasan bernada kesombongan. Kemudian punggungnya berlalu saja tanpa memahami isi tulisan-tulisan itu.
Tarikan nafasnya menjadi sedikit ringan, seorang kawan datang. Arjuna katanya. Mereka berlalu dengan cepat. Dengan sedikit ayunan langkah dibantu tiupan angin malam, mereka bergegas meninggalkan dingin. Menikung ke arah kanan, dan hilang dibalik gedung bioskop tua yang pernah tersohor pada masanya.
Dari balik tirai coklat bermotif bunga kemboja keduanya duduk berhadapan. Meja dan kursi menjadi saksi, juga minuman kaleng kosong. Suara nyala tv semakin mengecil ketika volume suara mereka membesar menjelang pagi. Tawa dan derai keringat seakan menjadi soal bagi nyamuk untuk datang menghampiri sekedar menghisap wanginya aroma darah. Nina tidak beranjak sampai ia tersadar bahwa cahaya matahari telah tampak dari celah jendela. Rambutnya basah menjelang pagi, dan ketika ia berdiri spontan, rambut itu terurai panjang sampai rusuk bagian bawah.
Lelaki setengah baya yang ia sebut Arjuna itu tersenyum ramah, tangannya mengelus setiap helai keindahan rambut dan rupa. Sedang Nina hanya membalas tenang, senyumnya adalah lukisan monalisa. Enteng namun mengandung berjuta misteri. Terkandung berjuta kenangan dan kepedihan yang telah dilewati. Tentu mata tidak pernah berbohong dalam segala hal, namun tetap ia menjadi sebuah misteri.
Keajaiban yang beberapa waktu lalu ia harapkan akhirnya datang, sang Arjuna memberinya asa untuk hari esok sebelum ia harus kembali menunggu nyamuk-nyamuk nakal berkeliaran di pinggir jalan. Keduanya berpisah dengan kecupan hangat, terlambat untuk sebuah nama yang sebenarnya harus terlukis.
Beragam hal sudah ia masuki dalam usianya yang baru beranjak 25. Tentang kekasih hati, tentang orangtua, atau tentang hidupnya sekalipun –buruk dan baiknya sebuah kisah- yang sedang berjalan tanpa henti. Mengucurkan keringat lelah dan mencari kedamaian dari hal yang tidak masuk dalam hitungan wanita normal.
Arjuna-arjuna adalah harapan. Namun, semuanya pasti berlalu tanpa ia bisa menghitung sampai hitungan kesepuluh. Saat ia mulai dengan nol, arjuna datang menyapa bagai untaian kesadaran yang begitu indah. Dihitungan satu, semuanya bergejolak panas saat dua tangan saling bergabung dalam rasa dingin. Hitungan dua berupa langkah. Selanjutnya, mereka saling memuji dalam ketidaksadaran masing-masing. Tubuh mereka bersatu sambil menyatukan dua perbedaan menjadi sama di atas tumpukan-tumpukan busa. Dalam hitungan kesembilan, akhir dari apa yang ada dalam pikiran Nina datang. Sebuah sapaan atau makian menjadi penanda baginya. Setelah sekian lama usang memenuhi otak-otak arjuna yang kotor, ia mendapat secuil harap bagi hitungan esok hari.
Sekembalinya Nina dari mimpi buayan semalam, ia berdiri kokoh tersenyum menghadapi hidup yang sesungguhnya. Tari dalam gerak dan alunan nada tidak sama sekali ia buat palsu, semuanya nyata dan tidak dibuat-buat. Ia melangkah seperti wanita melangkah menuju pasar. Membawa uang seperti mereka, mencicipi nikmatnya masakan dengan tambahan garam dan sepiring nasi yang tersaji di meja makan. Siangnya, ia tertidur lelap menandai tubuhnya sudah terlalu lelah untuk bisa berjuang menghadapi mata yang harus terbuka nanti malam. Kejam, alangkah kejam kenyataan ini. Seketika mata terpejam, mimpi-mimpi bergejolak meminta penjelasan dari semua hal yang ia hadapi. Alibi, bahkan dugaan akan kehidupan yang kusut tidak menjadi sebuah pemacu untuk membenarkan apa yang ia lakukan. Salah dalam semua mata manusia, hanya beberapa Arjuna yang benar berkata “Ya”.
Hidup itu saling bertentangan, ada baik dan selalu ada buruk. Jika hal lain berupa nyata, maka lainnya adalah mimpi. Saat bercermin, Nina ada di posisi tengah. Antara hidup dan kehidupan. Semua bayangannya mencatat bahwa buruk adalah hal yang sedang ia cari, namun lamunannya adalah benar karena hidup bukan berarti kehidupan.
Nina terbangun dari kursi sembari menutup cermin. Sebuah rupa berbeda telah nampak menghiasi rona merah wajah. Warna hitam kembali dipilih untuk menutupi tubuhnya. Sepatu high heel tersemat pada kaki putihnya. Cat-cat kuku mentereng berwarna merah tanda ia berani mencakar semua busuknya ide dari sang nyamuk. Barangkali giginya terlalu putih hingga menyilaukan pandangan seorang kawan yang akan berjumpa dengannya saat gelap hanya diterangi lampu. Ia bergegas menjelang mentari membuka jalan pada rembulan agar berjaya setelahnya.
Biar bumi berputar, biar alam berubah, biar semua langkah menjadi semu, dan biar aku menatap kembali angin yang menembus mata. Lelah bukan permainan jiwa, hanya saja semua itu telah terlalu kuasa menantang lemahnya sebuah hati tanpa berujung.
Nina, begitu ia disebut. Mata dari setiap mata wanita. Badut dari segala badut berhidung merah. Katanya sambil menunggu kelemahan lawan jenis, semua tipu daya ini adalah aku. Saat mereka terperangkap, maka lelah sedari tadi yang aku rasakan adalah fana. Aku berjaya, namun lemah setelahnya. Saat badut berjalan di siang hari, maka muka adalah rupa yang sesungguhnya. Namun, malam adalah saat dimana badut bergerak memenuhi tawa-tawa muak yang harus ia rasakan sampai telinganya bosan mendengar rintihan syahdu dalam ruangan kotak.
Terlihat dari ujung sana, seorang Arjuna turun dari mobil sedang berwarna hitam. Nada bicaranya begitu kasar membentak, namun cincin dan kalungnya adalah pertanda ia bernada kaya. Keduanya menyapa tanpa banyak tanya. Setelah berjuang di pojok gang tempat biasa Nina berdiri, lekas keduanya menghilang memenuhi cakrawala malam, berlalu dan berlalu.
Lamat terdengar suara nyanyian, “nina bobo.. oh nina bobo.. kalau tidak bobo digigit nyamuk.”
Persetan dengan lagu itu. Toh, nyamuk lainnya sedang berdatangan sekarang menghisap namun menghidupi. nina bobo.. oh nina bobo.. kalau tidak bobo digigit nyamuk…. Begitu sampai pagi menjadi tanda mentari mengambil kembali kejayaan sang rembulan.
Friday, July 2, 2010
Sajak cinta
menculik presiden
Menculik Presiden
Handoko dibuat semakin geram. Presiden tidak juga beranjak membuka mulut, bibirnya rapat seperti terkunci. Ia semakin menjadi-jadi, usahanya untuk membuat Sang Presiden membuka barang satu kata agar pertanyaan-pertanyaan yang telah dilontarkan mendapat jawaban telah dilakukan dengan segala cara.
Tiba-tiba ia mengambil cemeti. Hentakan demi hentakan bagai bunyi dentuman amarah seorang tuan tanah terhadap budaknya. Lagi dan lagi sampai suara itu pecah memecahkan suasana sepi ruang kosong rumahnya. Kursi yang di pojok sana diambil, lalu ia duduk menghadap muka Sang Presiden. Mulanya ia hanya memandang sambil melotot, tangannya lalu memegang dagu Presiden, disekanya darah yang bercampur keringat. Kemudian pukulan bertubi datang lagi menghampiri muka Presiden yang sudah tidak berbentuk. Matanya bengkak, alisnya robek, giginya tanggal beberapa butir, dan kulit mukanya berwarna merah tercampur darah segar.
“Ini untuk upahmu sebagai Presiden yang mulia.”
“Ini untuk pekerjaanku sebagai karyawan yang lebih layak disebut buruh pecundang.”
“Ini untuk mobil mewah yang kau pakai sehari-hari.”
“Ini untuk harga makanan yang mahal, ini untuk berasmu, untuk minyakmu, untuk kampanyemu, untuk kampanyemu, dan untuk…” Belum selesai ia memaki, sebuah bogem mentah melayang membentur kepala bagian belakang Presiden, “untuk istriku yang menceraikan suaminya karena tidak punya lagi pekerjaan.”
“Kenapa kau diam?”
Sejenak rasa lelah karena terus bicara dengan nada tinggi membuat Handoko diam sesaat. Nafasnya mendadak berat, jantungnya berdebar, dan jarinya gemetar. Sementara cemeti masih terus ia pegang. Ruangan menjadi sepi, hanya terdengar suara hembusan nafas yang sedikit demi sedikit teratur kembali. Handoko menoleh ke arah sekitar, dicarinya alat yang bisa membuka mulut musuh yang tidak lagi berdaya di hadapannya.
“Lihat,” Katanya, “ini sebuah kayu,” Ia melanjutkan, “Kau tahu, ini bisa saja menjadi semacam pukulan terakhir yang bisa kau rasakan. Sementara kau hanya diam saja menunggu untuk ajalmu. Bisakah polisimu datang ke tempat ini dan menolongmu dari kayu yang jadi takdirmu. Heh, Jawab!”
“Kau kira jasmu adalah pakaian kebesaran yang bisa menutupi ajalmu, kau kira aku tidak sanggup membeli pakaian semacam ini?”
Handoko melangkah mundur, ia mengambil segelas air di dapurnya. Ketika ia kembali, sebilah pisau telah di pegang di tangan kirinya. Ia duduk kembali di hadapan Sang Presiden. Mereka berhadapan.
Kau tahu. Katanya. Aku adalah seorang pekerja yang jujur, tidak ada niatku untuk berbuat hina. Aku bisa saja mengambil barang saat mandorku lengah, aku bisa saja mengantonginya lalu menjual ke pedagang asongan di pasar, atau jika aku mau bisa saja pura-pura sakit agar bisa tidak masuk kerja namun tidak pernah ada niatku untuk itu. Handoko mulai melunak, sambil mengasah pisau dengan kaki kursinya. Istriku adalah seorang wanita baik, ia tidak pernah mengeluh saat aku pulang dengan tidak membawa uang. Ia selalu tersenyum walau aku tahu, ia tidak menyembunyikan gurat kesedihan. Aku tahu saja jika ia sebenarnya ingin menangis menyaksikan suaminya pulang hampa tanpa sebutirpun beras, sementara dapur harus terus menyala. Api harus terus membakar panci agar kami bisa makan.
Saat Presiden akan membuka mulutnya, Handoko mencengkram pipi Presiden sambil menodongkan pisau.
“Jika kau orang baik, kau tidak akan membiarkan pemimpinmu ini tersiksa.” Katanya sambil terbata-bata.
“Baik, memang aku orang baik. Benar katamu. Namun, apa aku harus melepaskanmu sekarang?”
Presiden tidak menjawab, ia hanya kembali menunduk menunggu Handoko melakukan hal selanjutnya. Ia semakin pasrah. Nyawanya hanya tinggal menunggu pisau, kayu, atau cemeti yang akan dihujamkan kearah tubuhnya.
“Bodoh.” Bentaknya sambil tertawa keras.
“Hal terbaik yang akan kulakukan adalah mengakhiri sama-sama kesakitan kita. Bukankah kita sama-sama menderita sekarang. Jika aku membunuhmu, kau tidak akan lagi merasa sakit karena terus kupukuli. Lalu aku akan membunuh diriku agar aku tidak menderita menghadapi hari esok. Bagaimana menurut Bapak Presidenku yang terhormat dengan jas dan dasinya ini?”
“Lakukan saja!” Suruh Presiden seakan ia sudah muak dengan semua ocehan Handoko yang sudah hampir satu jam ini terus menjejali telinga.
“Kau takut mati? Kau takut akan kehilangan jabatanmu yang telah susah kau dapatkan? Bagaimana dengan istri, anak, dan cucumu? Kau tidak takut mereka akan menangisimu saat kau ditemukan dengan tubuh kaku dipenuhi darah dan sayatan?”
“Kau keparat yang tidak bisa diam. Lakukan saja, aku akan membalasmu di neraka sana, bukankah aku tetap seorang Presiden dimanapun aku berada?”
“Biadab, kau pikir aku akan juga tunduk di akhirat sana?”
Sambil menatap wajah Handoko yang berjarak hanya beberapa senti dari mukanya, Sang Presiden melotot tajam. Ia seakan membalas tatapan keras yang Handoko lakukan. “Tidak ada yang bisa mengubah takdir lelaki hina.” Katanya kemudian.
Handoko tertawa lepas. Seakan kata-kata umpatan itu adalah sebuah lelucon. Dendamnya semakin subur tumbuh bagai kayu yang terbakar. Lamat terdengar gejolak darahnya yang mendidih, mengalir cepat dari otak ke kaki lalu menjulur memenuhi tiap nadi sekujur tubuhnya.
“Api tidak mampu membakarku di neraka sana. Jika begitu siapa yang kalah?” Handoko semakin tidak terkontrol, tanganya menyatkan pisau itu ke pipi Presiden. Darah segar kembali mengalir, perlahan menyusuri ujung dagu dan menetes diatas celana, terus meresap sampai menembus menuju paha.
“Lihat rasa darah pengecut hina ini. Anyir dan tidak berarti.” Kekeh Handoko setelah menjilat darah dari pipi Presiden.
Brakk
Brakkk. Suara gaduh berlangsung cepat, kemudian suara hembusan nafas terdengar memudar, dan suasana menjadi hening. Tidak ada lagi semua dendam dan perang antara kebisuan juga kemurkaan di benak Handoko. Kursi pun diam membisu menyaksikan tetesan terakhir darah dari nadi Handoko. Hanya sebilah pisau dan bercak darah yang memenuhi tiap jengkal lantai kayu yang masih segar tercium dari ruang kosong itu.
Beberapa saat kemudian suara cecak di tembok gaduh mengunyah nyamuk besar. Di pojok atas kembali satu nyawa melayang, lahap dimakan cecak. Menandakan mangsa dan pemangsa. Lapar dan hidup yang harus terus berlangsung. Cecak itu kemudian kembali berlari menuju nyamuk-nyamuk besar lain yang berterbangan angkuh di samping redupnya lampu bohlam.
Yang Maha Kuasa. Yang Maha Segalanya. Sediakanlah bagi kami kaum cecak ini ribuan nyamuk-nyamuk. Agar dendam perut ini terbalas seperti manusia-manusia yang telah mati dihadapan kami. Cecak bersenandung sesaat sebelum hembusan nafas Handoko yang terakhir. Ketika ia tidak lagi mampu berpikir tentang dendam. Hilang, telah hilang bersama semua yang melayang menuju tempat dimana manusia akan kembali ke asal.
Esoknya warga berkerumun penasaran di hadapan mayat lelaki yang terbujur itu. Polisi-polisi sibuk mencatat semua hal yang akan menjadi bukti kasus ini. Sementara warga terus berdesakan memenuhi ruangan ini, semua sibuk dengan argumen masing-masing.
Tubuh Handoko dibawa menuju mobil ambulan oleh pihak rumah sakit. Sementara ruangan menjadi sepi kembali, hanya dua buah kursi penuh darah yang masih bediri dan menjadi saksi atas kasus matinya Handoko, pemuda yang beberapa waktu diketahui gila setelah istrinya menceraikannya karena kehilangan pekerjaan.
Cecak kembali bersenandung sesaat setelah kembali melahap mangsa nyamuk terbesar yang pernah ditemukan. Lampu redup itu kemudian padam dengan ruang yang pintunya selalu tertutup rapat.
Saturday, June 19, 2010
Kerinduan
Kerinduan
Jika kau bertanya padaku kerinduan
Benar kujawab
Rindu Tuhan
Rindu mentari
Rindu pohon
Lebih dekat lagi bagiannya, aku rindu
Lusa berangkat menuju tempat
Lembaran-lembaran telah sampai diujung
Beberapa telah terbuka, teringat, terkenang
Sebagian tertutup dan sengaja ditutupi
Bermimpi tentangnya bukan khayalan
Lalu-lalu
Berderai peluh terlewati lalu
Tetap ingin melangkah pulang
Tujuan bermakna dua kali aku pulang
Sekali dari pamitnya daku pada ibu
Kedua dari dunia
Kerinduanku pada tubuh telah lepuh
Angin dingin berangin beku
Menyapa dengan pedang. Disayat
Tanpa teriakan berupa air mata
Aku rindu kerinduan
Tuhan (hanya) bersama orang-orang desa (Sebuah cerpen)
Tuhan (hanya) bersama orang-orang desa
Kejadian ini terjadi kemarin lusa. Seorang kawanku yang baru datang dari ibukota bercerita penuh keyakinan. Bukan sebuah kisah tentang bagaimana ibukota yang megah, bukan pula gedung-gedung seperti di televisi, atau barangkali kendaraan mewah yang hilir mudik meramaikan siang dan malam, juga tentang bagaimana macetnya jalanan disiang hari.
“Barangkali Tuhan hanya ada bersama orang-orang desa.” Ceritanya sambil menepuk pundakku.
Ia kemudian duduk di sampingku. Sambil memesan kopi hitam seperti biasa, seperti hari-hari biasanya; kopi dengan sedikit gula, takaran kopi tiga sendok makan, serta air yang mendidih. Mbok Ratmi seakan sudah mengerti semuanya, seperti telah menjadi ingatan baginya pada setiap pelanggan, khususnya kawanku yang satu ini, ia memang sedikit royal untuk urusan kopi.
“Rokoknya sebatang.” Pintanya kemudian.
“Kau merokok sekarang?” Tanyaku heran sambil menatap wajahnya.
“Ibukota.” Jawabnya singkat.
Ia menyalakan dengan terburu-buru, sampai beberapa kali batang korek tersebut jatuh. Aku mengambilkan beberapa yang ada di tanah. “Kau bukan perokok yang handal.” Sindirku.
“Kau bukan seorang kawan yang mau menyalakan korek untuk bosnya.”
“Memang.”
Nafasnya mulai teratur saat kopi sudah dihirup dan sebatang rokok menyala dengan sempurna. Aku dan Mbok Ratmi terdiam menunggu kata-kata yang akan keluar lagi, aku sendiri heran dengan dugaannya yang sedikit sinting. Saat ia belum juga mengeluarkan kembali kata-kata, rasa penasaranku memuncak, “Apa maksudmu dengan Tuhan…”
“Tuhan hanya bersama orang desa?” Potongnya cepat. Dihirupnya rokok kretek murahan itu dengan sangat pelan, lalu ia menghembuskan asap-asap itu menuju udara, mengepul kemudian hilang tertiup angin sore.
Aku terus mengamati mimik mukanya. Sementara pikiranku terus menduga akan hal apa yang barangkali ia ucapkan, mungkin pembelaan atau penarikan kembali ucapannya atau sejenisnya. Entahlah, ia terus saja menghirup rokok dengan tiada henti. Ketika asap di tenggorokannya sudah keluar melalui hidung dan mulut, ia menghisapnya lagi. Aku hitung ia telah delapan kali melakukan hal itu sementara aku tidak beranjak dengan muka mengamati.
“Kau masih seperti dulu.” Kataku dengan segera setelah ia tidak juga membuka mulut. Suasana kaku menjadi sedikit cair saat teh manis hangat menyentuh tenggorokan.
“Apa kawanku ini penasaran?”
“Tentu. Bagaimana?”
“Kuceritakan padamu, hanya kau orang pertama yang ingin kuajak bicara masalah ini. Ini merupakan kesimpulan dari perjalananku ke ibukota. Selebihnya jika Mbok mendengar, mungkin ia akan sedikit tidak mengerti dengan ucapanku. Jadi, kuharap kau mengerti sebagai orang yang pernah mengenyam bangku sekolah.”
“Huh kau mengejekku. Aku selalu lebih pintar darimu di kelas. Selalu, dari SMP sampai SMA.”
“Ya, tapi kau tidak kuliah bukan?”
“Memang kau juga kuliah.” Sindirku, “sudahlah, apa yang kau ingin ceritakan?”
Mulanya hanya sebatas bagaimana ia bisa sampai kembali lagi ke desa. Katanya, ibukota lebih kejam dari ibu tiri, dan lagi semua orang terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Pagi hari ketika akan ikut Pak Sahuri bekerja di sebuah proyek pembangunan gedung, semuanya berjalan dengan baik tanpa ada kesulitan. Selama beberapa minggu bekerja, mandor yang mengawasi proyek sangat suka dengan cara ia bekerja. Sampai-sampai mandor yang kata Pak Sahuri sangat tidak menyenangkan ketika menegur kesalahan pegawainya itu mendadak lunak ketika ia memperlihatkan bagaimana seorang lulusan SMA ini bekerja.
“Kau menikmatinya? Lalu kenapa pulang? Apa gajinya kecil, katanya di ibukota uang berlimpah?” Aku memotong sambil mengipaskan tangan depan hidung, sedari tadi asap rokoknya terus membuat pening saat kuhirup.
“Rasa penasaranmu selalu membuat dirimu terlihat bodoh dari dulu. Aku belum selesai.” Ia mendahem pelan, suara tenggorokannya basah, “begini, aku sangat menikmati semua yang berlangsung…” Ia mengerutkan keningnya, “tiga minggu, tepatnya 24 hari. Ya, 24 hari. Namun, udara di sana membuatku merasa aku tidak bertuhan.”
“Itu pertanyaanku. Tuhan apa maksudmu?”
Ia memukul kepalaku sambil tertawa. Mbok Ratmi yang sedari tadi heran mendengar cerita kami tiba-tiba membentak. “Lanjutkan.” Katanya penasaran.
“Betul, asal jangan kau sebut Mbok juga bodoh, kuwalat kau nanti.” Aku menambahkan.
Sebelum melanjutkan, ia membuang rokok lalu menginjak sisanya dengan kaki kiri. “Begini, aku sudah tinggal disana selama satu bulan kira-kira. Sekali aku pernah mengunjungi sebuah mall mewah. Ada sebuah kejadian yang sangat tidak masuk akal. Saat itu sengaja aku bergegas pergi karena sudah larut sore, dan lagi aku sudah capek setelah bekerja sampai siang.”
“Kau menyempatkan ke mall? Bergaya kau seorang buruh mengunjungi tempat orang-orang kaya seperti itu.”
“Justru itu, aku langsung bergegas disamping aku hanya ingin tahu, juga dompetku tidak akan cukup untuk membeli barang-barang yang serba mahal. Ya, aku bergegas saja keluar. Aku tersadar saat langit sudah gelap, dan suara adzan terdengar pelan dari sana. Aku melangah menuju mesjid. Agak jauh, lumayan.”
“Bagus, aku bangga, kau tidak pernah lupa lima waktu.” Sahutku tiba-tiba.
“Bagus, kau selalu memotong tiap aku bicara.”
Aku tertawa keras. Sambil menepuk pundaknya, aku menyuruh agar ceritanya dilanjutkan dengan aturan tidak banyak memotong lagi dan lagi. Sepertinya ia mulai serius. Katanya melanjutkan, mesjid disana sangat ramai dikunjungi warga. Saat melangkah, dari jarak beberapa ratus meter, orang-orang dengan belanjaan ditangan mereka berjubel memenuhi halaman mesjid. Aku menjadi sangat terkesima dengan pemandangan ini. Kaki ini semakin cepat melangkah. Perasaanku mengatakan akan menjadi pengalaman luar biasa, tidak bisa dibayangkan bagaimana sesaknya mesjid tentunya. Namun, setelah masuk, hanya ada beberapa orang yang telah selesai salam. Aku tentu sangat heran.
“Hubungannya dengan Tuhan hanya ada di desa?”
“Itu yang menjadi pikiranku kemudian. Bukan sekedar pikiran, namun juga pertanyaan yang harusnya kau bisa menjawab.”
“Lho, bukankah kau yang menyimpukan hal tersebut. Lalu, apa urusannya denganku?”
“Kau mungkin setuju.”
“Aku belum menduga hal itu. Jelaskan lebih rinci?” Pintaku semakin tidak sabar.
“Begini, aku berpikir jika terlalu banyak Tuhan di Ibukota sana atau barangkali sama di kota-kota besar lainnya. Bukankah dari kejadian yang aku alami itu menjadi sebuah kesimpulan bahwa mereka mempunyai banyak Tuhan, mungkin Tuhan di mall sana yang lebih penting untuk dikunjungi, atau barangkali Tuhan-Tuhan yang terus diburu sampai mereka lupa bahwa mesjid bukan hanya tempat persinggahan untuk menghilangkan rasa lelah setelah lama berburu Tuhan-Tuhan.”
“Tuhan yang mana? Kau menyebut semuanya Tuhan?”
“Bukan berarti aku musyrik, namun kesimpulannya adalah bahwa Tuhan mungkin murka pada mereka, buktinya aku tidak sama sekali menemukan ketenangan di ibukota. Itu bukti Tuhan telah hijrah ke desa.”
“Hus, bukankah Tuhan itu satu dan ada mengawasi semua tempat,” aku menambahkan, “hati-hati kau tersesat.”
“Dengar dulu. Tuhanku tentu satu. Lalu aku kira mereka hanya mengganti Tuhan dengan benda, uang, atau sejenisnya. Lihat saja di tv, semua orang berlomba mencari segala hal duniawi seakan itu adalah Tuhan mereka.”
Aku mengangguk setuju, “Kau benar.” Aku mengiyakan. Tidak kusangka temanku ini begitu bijak dalam hal ini.
“Lihat di sini. Kami akan pergi ke mesjid saat adzan berkumandang, mereka hampir semuanya sengaja meninggalkan pekerjaannya di sawah atau ladang. Kami hanya menyembah satu Tuhan. Dan itu menandakan bahwa niscaya Tuhan akan bersama orang-orang desa. Aku yakin Tuhan maha penyayang pada umatnya, namun apa bukan perbuatan hina mengganti Tuhan dengan materi. Jadi...,” Ia menyambung, “Mbok rokoknya satu lagi.” Katanya spontan.
“Apa rokok adalah Tuhan yang kau bawa dari ibukota.” Tanyaku terkekeh.
“Sialan kau.”