about

Monday, July 5, 2010

Tanah Leluhur

Sejumlah pemuda sedang asyik duduk di atas batu. Wajah-wajah mereka kegirangan saat salah satu diantaranya mendapatkan banyak ikan. Sentanu salah mengira, awalnya ia hanya tidak percaya bahwa hasil pancingannya akan berbuah begitu banyak. Senyum bangga tidak pernah lepas dari bibirnya. Sedang lainnya masih terus konsentrasi dengan kail masing-masing.
Aliran sungai sedang tidak terlalu besar. Riak-riak air mesra menyentuh bebatuan berlumut. Kicau udara meniup daun-daun kelapa. Setangkai ranting mahoni jatuh terlalu cepat menabrak kejernihan air. Cahaya matahari pelan menyentuh membuat kilauan air bagai permata, setitik celah diantara daun-daun yang mulai berbuah. Harum bunga sepatu memancarkan kedalaman rasa dari hasil dorongan sang kumbang.
Sentanu mengingat kembali kenangannya akan sungai ini. Beberapa kali ia membenturkan kejenuhan dengan duduk menyepi dalam keadaan yang tidak ia buat sendiri, alam menjadi begitu mesra menemani. Kekasih-kekasih hati dari buayan dan lambayan pikiran membuat selalu merasa bagai dalam ketidakbimbangan. Ia menyepi seperti hari-hari biasa.
Laksana sepasang kekasih dalam kisah cinta Ramayana. Keduanya adalah sejenak rasa yang ingin berpadu dalam keelokan tiada tara. Bumi telah merestui saat ia meminta restu dengan menjadi sepasang kaki penjaga, sepasang mata pengintai cinta. Sepanjang hidup, adalah kisah ini yang paling ia nikmati. Beragam cara menjadi sekedar pemanis yang terpasang subur dalam kenangan. Ia memposisikan diri sebagai satu makhluk yang sedang merasa seperti tidak lagi berbenturan dengan kehendak bumi yang marah. Seperti gedung tua di ujung kota, belasan pohon, dan ribuan udara panas. Ia datang dengan meninggalkan semua yang telah menjadi hari-hari biasa.
Maharani, wanita yang sedang ia amati dalam bayangan muncul. Rambutnya laksana daun pinus tertiup angin melambai memanggil kegundahan yang tidak bisa ia hampiri. Matanya adalah sepasang buah tempat ia menyandarkan lelahnya. Ia kembali teringat, beberapa bulan lalu, masih belum juga ia lupa.
Kedatangannya hanya sebagai sebuah jawaban atas rasa rindu pada dunia, namun kekasih hatinya tidak jua mendukung. Cahaya berbeda memisahkan keduanya menjelang bencana-bencana terus berdatangan di sana –tempat Maharani menetap-
“Aku menemukan apa yang telah menjadi keinginanku selama hidup.” Urai Sentanu padanya suatu pagi ditelepon, sementara suara lain dari ujung sana menduga hal yang berbeda.
“Kau melakukan tugas dengan benar, apalagi kau punya pendamping dalam kesendirian tanpa aku.”
“Apa yang kau tahu tentang kesendirian?” Tanya Sentanu cepat.
“Aku!”
Sentanu tidak terlalu yakin dengan jawaban itu, meski hatinya terus memaksa untuk meyakinkan. Pikirannya sudah dipenuhi hal busuk dari dugaan kekasihnya. Bimbang sudah ia memikirkan jawaban. Entah harus dengan hati atau pikiran. Sebanyak yang ia tahu, ibarat pepatah, laksanakan kehendakmu pada mereka dengan hati, namun gunakan pikiran saat menghadapi dirimu. Sekarang pikiran dan hati itu berperang.
“Kunjungi aku suatu saat jika kau sedang dalam kebimbangan.” Pintanya, “aku selalu suka di sini. Ini rumah.” Lanjutnya sambil menutup telepon.
Beberapa waktu berjalan, cinta begitu tidak bisa ditebak dengan sebuah pikiran, bahkan hati tidak lagi mampu bicara. Maharani, gadis kota yang begitu metropolis, yang selalu membuat dirinya dalam kemudahan dan pandangan kedepan yang tidak selalu harus sesempit uraian manusia desa. Sentanu mengenalnya ketika masuk jurusan yang sama di universitas. Keduanya dipertemukan tanpa rencana –kecuali Tuhan yang berencana. Hari-hari mereka habiskan dengan beragam argumen tentang masa yang akan datang. Hingga saat mereka memutuskan akan menjalin ikatan suci dalam rumah tangga.
Restu bumi adalah ayah, dan restu langit adalah ibu. Keduanya jauh namun tak bisa terpisahkan. Payung bumi adalah langit, selayang pandang langit adalah keindahan bumi. Langit bukan menang karena tinggi, namun semata karena dibuat posisi yang baik dalam hidup.
Seminggu sudah ia ada di kampung kelahirannya. Seketika semua ingatan kembali indah. Marni sang ibu hanya berharap agar anaknya datang kembali membawa kekasih hati yang akan menjaga mereka di hari tua kelak, sang ayah hanya mengangguk ketika keputusan Sentanu tercapai.
Maharani, begitu masalahnya. Ia adalah gadis kota, seperti gadis-gadis kota lainnya. Pikiran ketakutan akan rasa sulit yang akan dialami kelak menjelang hari tua membayanginya. Semula Maharani setuju ketika sang calon suami pamit ke tanah leluhurnya. Namun, panggilan jiwa menjadi sebuah hal yang terlalu indah untuk melepas kembali tanah itu.
“Kau terlalu beralasan,” sanggahnya, “bagaimana dengan pekerjaanmu yang telah sulit kau cari, kau lepaskan begitu saja?”
Suaranya bising seperti knalpot bus di depan. Beberapa kali nada percakapan mereka meninggi, udara membuat panas semakin panas. “Baiklah, dengarkan.” Sembari menarik nafas Sentanu melanjutkan, nadanya dibuat pelan, “Aku punya sawah dan ladang. Aku bisa hidup dari itu.”
“Kau sama saja dengan orangtuamu. Kuno.”
“Jangan bawa mereka dalam hal ini, ini hanya tentang keinginan hatiku yang begitu besar tertarik. Tanah itu yang pertama aku pijak, dan tanah itu memanggil kembali kaki yang telah lama pergi.”
“Tanahku di sini.” Kata Maharani tanpa menoleh, matanya berbinar sedikit berair mata, pandangannya lurus menembus kaca mobil, dan tangannya masih tertanam di stir mobilnya –memutar ke kanan dan lurus sampai ujung jalan depan rumahnya.
“Dugaanku kau beralibi.”
“Wanita?”
“Apalagi.”
“Kau kenal aku selama tujuh tahun sejak kita sama-sama menginjak kaki di gedung sana. Ini adalah kecurigaanmu yang pertama sejak aku mengenal sifat welasmu.”
“Cemburu adalah tanda rasa sayang seorang manusia.”
“Lantas, apa yang membuatmu cemburu? Toh aku tidak lagi memikirkan hal itu, kita sudah sama-sama dewasa.”
Mobil berhenti, sebuah rumah mewah berlantai tiga samar terdengar dari jedela samping. Pagar setinggi lima meter kokoh berdiri. “Sudahlah.” Teriak Maharani sambil membanting pintu mobil. Sentanu hanya diam tanpa kata, ia mengingat kembali kata-kata yang terucap sepanjang perjalanan tadi. Satu demi satu ia uraikan, dan rasanya tidak ada hal yang sengaja ia buat salah. Semuanya atas nama kasih sayang pada dua keindahan ciptaan Tuhan.
“Nanti malam kuajak kau kesuatu tempat.” Pinta Sentanu sambil melangkah keluar dari garasi. Tangannya mengusap air mata yang jatuh menyentuh bibir mungil, setelahnya ia mengusap bahunya mesra.
Dalam keindahan Tuhan mencipta, segala yang ia beri pada makhlukNya adalah hal yang tidak bisa dilukis dalam keadaan sadar dan akal logika. Cahaya adalah sebuah terang dari kegelapan yang Ia buat, bulan adalah sekiranya setitik keindahan pada malam, bintang menambah mesra uluran kesempurnaan.
Sentanu menunjuk sebuah bintang terang. Dari atas bukit semuanya tampak indah dan mempesona setiap mata. Maharani membungkus tangannya dalam jaket, lebih dalam dari dinginnya malam. Ia melihat arah bintang itu berdiri dan berkedip.
Manusia adalah makhluk berakal dan berpikir untuk segala ciptaan mereka. Olahan tangan mungil mereka mampu mendirikan kekosongan bumi dengan segala yang telah terpikir. Bintang-bintang dari atas sana menjulang dan memberi hal indah hingga mereka mempu menemukan bintang di bumi.
Sekonyong-konyong pandangan Maharani juga tertuju pada sebuah bintang di bawah bukit. Berkedip dengan skala kecil lalu hilang ketika tertutup awan. Sentanu tersenyum mesra pada kekasih hatinya, dipegang tangan Maharani, kemudian ia letakkan di kehangatan dadanya. Ini adalah kehangatan cinta, dan tidak ada yang lebih hangat dari cinta yang Tuhan berikan. Atas nama Dirinya, dan atas nama Cintanya, ia serahkan semua yang telah menjadi panggilan bagi kehidupan manusia kedepan.
“Aku menghargai apa yang menjadi pendapatmu, terlebih rasanya sangat sulit meminta dengan paksaan. Aku sudah terlalu dewasa untuk merengek, dan kau sudah terlalu tua untuk tidak memikirkan sesuatu tanpa logika. Jika suatu hari kau kubawa pada indahnya bintang di langit tempat kelahiranku di sana, kau akan tahu kenapa aku memilih pulang.”
Maharani diam tanpa bahasa, tangannya kembali diselipkan, kali ini pada saku celananya. Sementara galau pikiran membuat ia tidak juga memutuskan keinginan calon suami yang dikenal mempunyai keindahan budi, lebih dari keindahan bahasa. Dipandangnya Sentanu penuh tanya, “Bagaimana dengan hari esok?”
“Itulah bedanya Tuhan dan manusia.” Kata Sentanu pelan.
Sungai mulai tidak tenang saat pancingan Sentanu kembali disambar ikan, suasana hening berubah ricuh saat pemuda lain menghampiri sambil berteriak girang. Tarik ulur bagai roda hidup, teriak bagai suara kemenangan sesaat. Ini ikan yang ke-sembilan, ukurannya lebih besar dari dugaan, seeokor ikan nila tersangkut di ujung kail yang tajam.
“Sentanuuuuu.” Teriak seorang wanita dari atas batu di dekat air terjun, suaranya tidak lagi asing di telinga Sentanu. Sapaan lembut nan mesra dan menyejukan.
Sentanu melempar pancingannya cepat, bergegas langkahnya melompat melewati gugusan batu-batu kali. Keduanya sampai di sana, di ujung sebuah air terjun yang mengalir deras berwarna putih. Sentanu tersenyum sambil mengatur nafas.
“Selamat datang di keindahan yang nyata.” Sapanya.

Nina-nina, bobo, bobo

Angin dingin berubah semakin kacau, meniup daun-daun tidak bernyawa yang berserakan memenuhi celah-celah jalanan. Detik-detik waktu membuatnya semakin leluasa menerkam kehidupan; meniup mesra, mencakar, dan membunuh kesadaran. Sambil melambaikan tangan pada seorang wanita, angin bertiup seolah peduli.
Malam ini, entah sudah berapa waktu ia habiskan di jalanan. Pandangannya dibuat lurus, sedang matanya tidak juga berhenti bergetar seakan ia tidak bisa memandang kedepan. Lalu lintas sedang sepi, ujung dari belokan jalan hanya berisi sampah-sampah sisa bungkus makanan. Wanita itu memandang ke arah belokan, berkedip, lalu diam menunggu detakan waktu yang semakin bergema. Ia turun dari trotoar, sejurus kemudian ia menari di tengah jalanan kota. Sepasang mata berlalu hanya dengan tontonan, setelahnya mereka tidak juga bertanya tentang wanita jalan di ujung malam. Dan selebihnya, gertakan-gertakan asap dari knalpot hanya datang, tertiup, dan terbang. Dengan cepat menghilang diterkam gelap.
Nina, begitu nama itu disebut. Tidak lebih dari empat huruf, tidak kurang dari satu kata. Hanya Nina. Dagunya menjadi tajam saat ia berjalan menunduk, seakan jalanan ikut serta menancap pada setiap gerak. Rambutnya selalu hitam. Kaki tumpuan ia berdiri menjadi kokoh berakar ketika diinjaknya sebuah jalanan yang sepi. Jika tangannya memanggil, punggungnya sedikit terangkat lalu kemudian membungkuk seperti kalkun. Saat ia memandang ke arah jam tangan, selendang hitamnya terurai.
Tepat pukul satu. Tangannya meraih sesuatu di tas merah bermotif klasik. Dengan cepat jari-jari itu memainkan sebuah benda berisi harapan-harapan kenangan dan kepedihan. Kepulan-kepulan asap menjadi teman sepanjang ia menghabiskan sisa malam tanpa harapan akan esok. Segera ia mengubah posisi duduknya, dengan cepat punggungnya disandarkan pada sebuah tembok berisi coretan-coretan tidak penting –tidak lebih dari kata-kata kiasan bernada kesombongan. Kemudian punggungnya berlalu saja tanpa memahami isi tulisan-tulisan itu.
Tarikan nafasnya menjadi sedikit ringan, seorang kawan datang. Arjuna katanya. Mereka berlalu dengan cepat. Dengan sedikit ayunan langkah dibantu tiupan angin malam, mereka bergegas meninggalkan dingin. Menikung ke arah kanan, dan hilang dibalik gedung bioskop tua yang pernah tersohor pada masanya.
Dari balik tirai coklat bermotif bunga kemboja keduanya duduk berhadapan. Meja dan kursi menjadi saksi, juga minuman kaleng kosong. Suara nyala tv semakin mengecil ketika volume suara mereka membesar menjelang pagi. Tawa dan derai keringat seakan menjadi soal bagi nyamuk untuk datang menghampiri sekedar menghisap wanginya aroma darah. Nina tidak beranjak sampai ia tersadar bahwa cahaya matahari telah tampak dari celah jendela. Rambutnya basah menjelang pagi, dan ketika ia berdiri spontan, rambut itu terurai panjang sampai rusuk bagian bawah.
Lelaki setengah baya yang ia sebut Arjuna itu tersenyum ramah, tangannya mengelus setiap helai keindahan rambut dan rupa. Sedang Nina hanya membalas tenang, senyumnya adalah lukisan monalisa. Enteng namun mengandung berjuta misteri. Terkandung berjuta kenangan dan kepedihan yang telah dilewati. Tentu mata tidak pernah berbohong dalam segala hal, namun tetap ia menjadi sebuah misteri.
Keajaiban yang beberapa waktu lalu ia harapkan akhirnya datang, sang Arjuna memberinya asa untuk hari esok sebelum ia harus kembali menunggu nyamuk-nyamuk nakal berkeliaran di pinggir jalan. Keduanya berpisah dengan kecupan hangat, terlambat untuk sebuah nama yang sebenarnya harus terlukis.
Beragam hal sudah ia masuki dalam usianya yang baru beranjak 25. Tentang kekasih hati, tentang orangtua, atau tentang hidupnya sekalipun –buruk dan baiknya sebuah kisah- yang sedang berjalan tanpa henti. Mengucurkan keringat lelah dan mencari kedamaian dari hal yang tidak masuk dalam hitungan wanita normal.
Arjuna-arjuna adalah harapan. Namun, semuanya pasti berlalu tanpa ia bisa menghitung sampai hitungan kesepuluh. Saat ia mulai dengan nol, arjuna datang menyapa bagai untaian kesadaran yang begitu indah. Dihitungan satu, semuanya bergejolak panas saat dua tangan saling bergabung dalam rasa dingin. Hitungan dua berupa langkah. Selanjutnya, mereka saling memuji dalam ketidaksadaran masing-masing. Tubuh mereka bersatu sambil menyatukan dua perbedaan menjadi sama di atas tumpukan-tumpukan busa. Dalam hitungan kesembilan, akhir dari apa yang ada dalam pikiran Nina datang. Sebuah sapaan atau makian menjadi penanda baginya. Setelah sekian lama usang memenuhi otak-otak arjuna yang kotor, ia mendapat secuil harap bagi hitungan esok hari.
Sekembalinya Nina dari mimpi buayan semalam, ia berdiri kokoh tersenyum menghadapi hidup yang sesungguhnya. Tari dalam gerak dan alunan nada tidak sama sekali ia buat palsu, semuanya nyata dan tidak dibuat-buat. Ia melangkah seperti wanita melangkah menuju pasar. Membawa uang seperti mereka, mencicipi nikmatnya masakan dengan tambahan garam dan sepiring nasi yang tersaji di meja makan. Siangnya, ia tertidur lelap menandai tubuhnya sudah terlalu lelah untuk bisa berjuang menghadapi mata yang harus terbuka nanti malam. Kejam, alangkah kejam kenyataan ini. Seketika mata terpejam, mimpi-mimpi bergejolak meminta penjelasan dari semua hal yang ia hadapi. Alibi, bahkan dugaan akan kehidupan yang kusut tidak menjadi sebuah pemacu untuk membenarkan apa yang ia lakukan. Salah dalam semua mata manusia, hanya beberapa Arjuna yang benar berkata “Ya”.
Hidup itu saling bertentangan, ada baik dan selalu ada buruk. Jika hal lain berupa nyata, maka lainnya adalah mimpi. Saat bercermin, Nina ada di posisi tengah. Antara hidup dan kehidupan. Semua bayangannya mencatat bahwa buruk adalah hal yang sedang ia cari, namun lamunannya adalah benar karena hidup bukan berarti kehidupan.
Nina terbangun dari kursi sembari menutup cermin. Sebuah rupa berbeda telah nampak menghiasi rona merah wajah. Warna hitam kembali dipilih untuk menutupi tubuhnya. Sepatu high heel tersemat pada kaki putihnya. Cat-cat kuku mentereng berwarna merah tanda ia berani mencakar semua busuknya ide dari sang nyamuk. Barangkali giginya terlalu putih hingga menyilaukan pandangan seorang kawan yang akan berjumpa dengannya saat gelap hanya diterangi lampu. Ia bergegas menjelang mentari membuka jalan pada rembulan agar berjaya setelahnya.
Biar bumi berputar, biar alam berubah, biar semua langkah menjadi semu, dan biar aku menatap kembali angin yang menembus mata. Lelah bukan permainan jiwa, hanya saja semua itu telah terlalu kuasa menantang lemahnya sebuah hati tanpa berujung.
Nina, begitu ia disebut. Mata dari setiap mata wanita. Badut dari segala badut berhidung merah. Katanya sambil menunggu kelemahan lawan jenis, semua tipu daya ini adalah aku. Saat mereka terperangkap, maka lelah sedari tadi yang aku rasakan adalah fana. Aku berjaya, namun lemah setelahnya. Saat badut berjalan di siang hari, maka muka adalah rupa yang sesungguhnya. Namun, malam adalah saat dimana badut bergerak memenuhi tawa-tawa muak yang harus ia rasakan sampai telinganya bosan mendengar rintihan syahdu dalam ruangan kotak.
Terlihat dari ujung sana, seorang Arjuna turun dari mobil sedang berwarna hitam. Nada bicaranya begitu kasar membentak, namun cincin dan kalungnya adalah pertanda ia bernada kaya. Keduanya menyapa tanpa banyak tanya. Setelah berjuang di pojok gang tempat biasa Nina berdiri, lekas keduanya menghilang memenuhi cakrawala malam, berlalu dan berlalu.
Lamat terdengar suara nyanyian, “nina bobo.. oh nina bobo.. kalau tidak bobo digigit nyamuk.”
Persetan dengan lagu itu. Toh, nyamuk lainnya sedang berdatangan sekarang menghisap namun menghidupi. nina bobo.. oh nina bobo.. kalau tidak bobo digigit nyamuk…. Begitu sampai pagi menjadi tanda mentari mengambil kembali kejayaan sang rembulan.

Friday, July 2, 2010

Sajak cinta

Tanyaku pada mereka: Apa itu cinta, cinta apa yang tak buta, cinta batas wajar yang lebih, cinta dalam kedalamannya. Jawab-Nya padaku: cinta itu apa-apa, cinta-Ku, dalam kewajarannya; Aku adalah cinta, kedalaman tak terukur sebuah logika.

menculik presiden

Menculik Presiden

Handoko dibuat semakin geram. Presiden tidak juga beranjak membuka mulut, bibirnya rapat seperti terkunci. Ia semakin menjadi-jadi, usahanya untuk membuat Sang Presiden membuka barang satu kata agar pertanyaan-pertanyaan yang telah dilontarkan mendapat jawaban telah dilakukan dengan segala cara.

Tiba-tiba ia mengambil cemeti. Hentakan demi hentakan bagai bunyi dentuman amarah seorang tuan tanah terhadap budaknya. Lagi dan lagi sampai suara itu pecah memecahkan suasana sepi ruang kosong rumahnya. Kursi yang di pojok sana diambil, lalu ia duduk menghadap muka Sang Presiden. Mulanya ia hanya memandang sambil melotot, tangannya lalu memegang dagu Presiden, disekanya darah yang bercampur keringat. Kemudian pukulan bertubi datang lagi menghampiri muka Presiden yang sudah tidak berbentuk. Matanya bengkak, alisnya robek, giginya tanggal beberapa butir, dan kulit mukanya berwarna merah tercampur darah segar.

“Ini untuk upahmu sebagai Presiden yang mulia.”

“Ini untuk pekerjaanku sebagai karyawan yang lebih layak disebut buruh pecundang.”

“Ini untuk mobil mewah yang kau pakai sehari-hari.”

“Ini untuk harga makanan yang mahal, ini untuk berasmu, untuk minyakmu, untuk kampanyemu, untuk kampanyemu, dan untuk…” Belum selesai ia memaki, sebuah bogem mentah melayang membentur kepala bagian belakang Presiden, “untuk istriku yang menceraikan suaminya karena tidak punya lagi pekerjaan.”

“Kenapa kau diam?”

Sejenak rasa lelah karena terus bicara dengan nada tinggi membuat Handoko diam sesaat. Nafasnya mendadak berat, jantungnya berdebar, dan jarinya gemetar. Sementara cemeti masih terus ia pegang. Ruangan menjadi sepi, hanya terdengar suara hembusan nafas yang sedikit demi sedikit teratur kembali. Handoko menoleh ke arah sekitar, dicarinya alat yang bisa membuka mulut musuh yang tidak lagi berdaya di hadapannya.

“Lihat,” Katanya, “ini sebuah kayu,” Ia melanjutkan, “Kau tahu, ini bisa saja menjadi semacam pukulan terakhir yang bisa kau rasakan. Sementara kau hanya diam saja menunggu untuk ajalmu. Bisakah polisimu datang ke tempat ini dan menolongmu dari kayu yang jadi takdirmu. Heh, Jawab!”

“Kau kira jasmu adalah pakaian kebesaran yang bisa menutupi ajalmu, kau kira aku tidak sanggup membeli pakaian semacam ini?”

Handoko melangkah mundur, ia mengambil segelas air di dapurnya. Ketika ia kembali, sebilah pisau telah di pegang di tangan kirinya. Ia duduk kembali di hadapan Sang Presiden. Mereka berhadapan.

Kau tahu. Katanya. Aku adalah seorang pekerja yang jujur, tidak ada niatku untuk berbuat hina. Aku bisa saja mengambil barang saat mandorku lengah, aku bisa saja mengantonginya lalu menjual ke pedagang asongan di pasar, atau jika aku mau bisa saja pura-pura sakit agar bisa tidak masuk kerja namun tidak pernah ada niatku untuk itu. Handoko mulai melunak, sambil mengasah pisau dengan kaki kursinya. Istriku adalah seorang wanita baik, ia tidak pernah mengeluh saat aku pulang dengan tidak membawa uang. Ia selalu tersenyum walau aku tahu, ia tidak menyembunyikan gurat kesedihan. Aku tahu saja jika ia sebenarnya ingin menangis menyaksikan suaminya pulang hampa tanpa sebutirpun beras, sementara dapur harus terus menyala. Api harus terus membakar panci agar kami bisa makan.

Saat Presiden akan membuka mulutnya, Handoko mencengkram pipi Presiden sambil menodongkan pisau.

“Jika kau orang baik, kau tidak akan membiarkan pemimpinmu ini tersiksa.” Katanya sambil terbata-bata.

“Baik, memang aku orang baik. Benar katamu. Namun, apa aku harus melepaskanmu sekarang?”

Presiden tidak menjawab, ia hanya kembali menunduk menunggu Handoko melakukan hal selanjutnya. Ia semakin pasrah. Nyawanya hanya tinggal menunggu pisau, kayu, atau cemeti yang akan dihujamkan kearah tubuhnya.

“Bodoh.” Bentaknya sambil tertawa keras.

“Hal terbaik yang akan kulakukan adalah mengakhiri sama-sama kesakitan kita. Bukankah kita sama-sama menderita sekarang. Jika aku membunuhmu, kau tidak akan lagi merasa sakit karena terus kupukuli. Lalu aku akan membunuh diriku agar aku tidak menderita menghadapi hari esok. Bagaimana menurut Bapak Presidenku yang terhormat dengan jas dan dasinya ini?”

“Lakukan saja!” Suruh Presiden seakan ia sudah muak dengan semua ocehan Handoko yang sudah hampir satu jam ini terus menjejali telinga.

“Kau takut mati? Kau takut akan kehilangan jabatanmu yang telah susah kau dapatkan? Bagaimana dengan istri, anak, dan cucumu? Kau tidak takut mereka akan menangisimu saat kau ditemukan dengan tubuh kaku dipenuhi darah dan sayatan?”

“Kau keparat yang tidak bisa diam. Lakukan saja, aku akan membalasmu di neraka sana, bukankah aku tetap seorang Presiden dimanapun aku berada?”

“Biadab, kau pikir aku akan juga tunduk di akhirat sana?”

Sambil menatap wajah Handoko yang berjarak hanya beberapa senti dari mukanya, Sang Presiden melotot tajam. Ia seakan membalas tatapan keras yang Handoko lakukan. “Tidak ada yang bisa mengubah takdir lelaki hina.” Katanya kemudian.

Handoko tertawa lepas. Seakan kata-kata umpatan itu adalah sebuah lelucon. Dendamnya semakin subur tumbuh bagai kayu yang terbakar. Lamat terdengar gejolak darahnya yang mendidih, mengalir cepat dari otak ke kaki lalu menjulur memenuhi tiap nadi sekujur tubuhnya.

“Api tidak mampu membakarku di neraka sana. Jika begitu siapa yang kalah?” Handoko semakin tidak terkontrol, tanganya menyatkan pisau itu ke pipi Presiden. Darah segar kembali mengalir, perlahan menyusuri ujung dagu dan menetes diatas celana, terus meresap sampai menembus menuju paha.

“Lihat rasa darah pengecut hina ini. Anyir dan tidak berarti.” Kekeh Handoko setelah menjilat darah dari pipi Presiden.

Brakk

Brakkk. Suara gaduh berlangsung cepat, kemudian suara hembusan nafas terdengar memudar, dan suasana menjadi hening. Tidak ada lagi semua dendam dan perang antara kebisuan juga kemurkaan di benak Handoko. Kursi pun diam membisu menyaksikan tetesan terakhir darah dari nadi Handoko. Hanya sebilah pisau dan bercak darah yang memenuhi tiap jengkal lantai kayu yang masih segar tercium dari ruang kosong itu.

Beberapa saat kemudian suara cecak di tembok gaduh mengunyah nyamuk besar. Di pojok atas kembali satu nyawa melayang, lahap dimakan cecak. Menandakan mangsa dan pemangsa. Lapar dan hidup yang harus terus berlangsung. Cecak itu kemudian kembali berlari menuju nyamuk-nyamuk besar lain yang berterbangan angkuh di samping redupnya lampu bohlam.

Yang Maha Kuasa. Yang Maha Segalanya. Sediakanlah bagi kami kaum cecak ini ribuan nyamuk-nyamuk. Agar dendam perut ini terbalas seperti manusia-manusia yang telah mati dihadapan kami. Cecak bersenandung sesaat sebelum hembusan nafas Handoko yang terakhir. Ketika ia tidak lagi mampu berpikir tentang dendam. Hilang, telah hilang bersama semua yang melayang menuju tempat dimana manusia akan kembali ke asal.

Esoknya warga berkerumun penasaran di hadapan mayat lelaki yang terbujur itu. Polisi-polisi sibuk mencatat semua hal yang akan menjadi bukti kasus ini. Sementara warga terus berdesakan memenuhi ruangan ini, semua sibuk dengan argumen masing-masing.

Tubuh Handoko dibawa menuju mobil ambulan oleh pihak rumah sakit. Sementara ruangan menjadi sepi kembali, hanya dua buah kursi penuh darah yang masih bediri dan menjadi saksi atas kasus matinya Handoko, pemuda yang beberapa waktu diketahui gila setelah istrinya menceraikannya karena kehilangan pekerjaan.

Cecak kembali bersenandung sesaat setelah kembali melahap mangsa nyamuk terbesar yang pernah ditemukan. Lampu redup itu kemudian padam dengan ruang yang pintunya selalu tertutup rapat.