about

Tuesday, December 28, 2010

Suara Mata

Beberapa dari kami mati, sebagian lagi terlahir menggantikan posisi kematiannya. Sebagian saling mencinta; mencintai Tuhan dan isi alam. Sebagian saling menikam, memenuhi kehidupan abadi dengan kebencian mendalam.
Ada yang bercinta. Bukan kisah mereka yang menghabiskan bersama istrinya di atas ranjang. Hanya sebuah kisah antara dua insan yang sedang benar-benar merasakan nikmatnya hirupan cinta lawan jenisnya.
“Aku lihat di matamu.” Ujarku sambil menoleh pada mukanya. Ia diam sesaat, sepertinya rangkaian kata sedang ia siapkan untuk menjawab.
“Maksudmu Mas?” Jawabnya singkat dan tiba-tiba.
“Tahukah kau sayang, aku begitu mengagumi matamu yang sangat indah. Bisa aku merabanya?”
“Ya, Mas. Semuanya adalah keindahan yang Tuhan telah berikan.”
Aku terlalu merasakan nikmat memegang matanya, hingga sesekali air matanya jatuh dari bulatan itu. Sesekali debu itu terusap tanganku dari matanya, debu yang menjadi bagian tersendiri dari rumitnya hidup. Sedikit kurasakan bagaimana tangan ini merasakan pula adanya sentuhan magis yang mengubah dunia.
“Biar tanganku merasakan sayang. Kau tahu betapa kita merasakan gelapnya jalan yang kita lalui bersama. Aku memegang tanganmu seperti matamu memandang mataku.”
“Ya, Mas.” Jawabnya pelan.
Kami berjalan bergandengan dan menikmati indahnya bersama. Melewati jutaan manusia yang sedang berkembang juga menikmati dunia, namun dengan terangnya bukan seperti kita dalam gelap. Mereka juga bergandengan dengan pasangannya, mereka juga menggunakan tangannya untuk menikmati kakinya yang sedang berjalan. Saling memapah namun sekali lagi bukan dari bagian gelapnya, sementara kami tetap saling bergandengan dalam ketiadaan cahaya.
Sesekali kami tersandung. Setelahnya aku duduk barang sejenak menahan lelahnya kaki yang terus menopang tubuh. Kupandangi mukanya sekali lagi, barangkali setiap waktu. Saat kupegang tangannya, sesekali ia tertawa geli. Kugerayangi itu dan kucubit sampai kami merasa sebuah kemesraan yang begitu dalam melebihi imajinasi mereka. Aku menoleh ke depan, ia masih juga memandangiku penuh takjub.
“Apa kau malu menjadikanku sebagai kawan hidupmu?”
“Ah Mas, sungguh tidak. Aku bangga dengan Mas.”
“Boleh ku pegang matamu?”
“Ya Mas, tentu ijinku telah kuserahkan semuanya pada seorang yang aku percaya.”
“Kau tahu betapa sebuah mata tidak bisa di bohongi, dan kau pasti tahu akan itu. Orang berkata jika kau ingin melihat kebohongan seseorang, lihatlah dari matanya. Mata seseorang tidak pernah bisa berbohong.”
Air matanya jatuh saat aku berkata dengan sedikit bayangan suram. Aku merasakannya ketika tanganku memegang matanya untuk kesekian kali. Jatuhnya menyentuh jempolku, menembus pori-pori dan masuk sampai ke darah yang di bungkus nadi. Rasa dingin itu meresap, hingga saat kuhisap air matanya aku merasakan rasa gelap itu.
“Apa kau yakin aku jujur padamu?”
“Aku yakin Mas. Telah kuserahkan semua kasih ini. Jika Mas tanya seperti ini lain kali aku pun akan jawab hal yang sama. Mas tentu yakin dengan air mata tadi yang aku teteskan, lalu kenapa Mas berkata begini? Apa Mas yang ragu akan cintaku?”
“Tidak, sama sekali tidak. Kau tahu diantara wanita yang kukenal adalah mereka yang telah melihatku sebagai orang yang lain dengan dirinya. Kaulah yang telah menerimaku apa adanya.”
Kupegang lagi matanya, ia menangis lagi. “Hentikan air matamu. Aku tahu kau adalah jiwa yang terpisah dari ragaku. Seperti Adam yang menyerahkan tulang rusuknya untuk Hawa.” Aku terdiam sejenak, “tapi tak apa jika kau ingin terus mengeluarkannya, biar tanganku ini terus merasakan kenikmatan yang tidak terlihat.”
“Ah Mas, kau terlalu berpuitis. Aku tidak perlu itu. Bagiku puitis itu hanya bagi mereka yang memuja kata-kata untuk menggambarkan kesempurnaan rupa mereka. Tidak perlu Mas seperti itu, aku bahagia dengan ketulusan kata-katamu yang telah meluluhkan hatiku.”
“Tidak dapat kugambarkan dengan puisi sayang. Kau adalah lebih dari rangkaian kata-kata di dunia. Jika kurangkai kata indah, itu hanya sebagai ungkapan atas kekagumanku pada jiwa besarmu.”
“Ah Mas, kau terlalu berlebih.” Balasnya tersipu malu.
Kami kemudian kembali berjalan saling menuntun, seakan kami tidak peduli akan mereka yang iri melihat kemesraan ini. Lebih jauh, kami juga tidak peduli jika awan yang iri pada kita kemudian enggan menghalangi sinar mentari, lalu kami merasa dahaga karenannya. Namun, aku selalu percaya dahaga itu hilang oleh kuatnya pegangan tangan kami. Hilang seperti awan yang iri itu tertiup angin kencang.
Kami kembali duduk, padahal kami baru berjalan beberapa langkah. Aku telah memantapkan untuk duduk di sini, sebuah tempat teduh karena tidak tersinari mentari, di bawah pohon yang begitu redup rindang serindang hati kami.
“Mas, aku tahu kau tidak lelah, namun kenapa kita kembali duduk?”
“Biar, biar mereka melihat bagaimana jalan yang kita lalui. Walaupun kita hanya melangkah beberapa langkah, namun bagiku jika kita melangkah bersama, langkah kita terasa panjang dan bermakna.”
“Ah Mas, kau selalu membuatku bangga dengan kata-katamu.”
“Tidak sayang. Itu tidak seberapa, jika di banding dengan apa yang telah aku lalui bersamamu.”
Pohon sedikit bergoyang, tapi kami juga tidak peduli akan itu. Aku masih duduk berdampingan dengan kekasih hatiku. Sesekali aku memegang matanya lagi, ia tidak menangis kali ini. Hanya saja, keringat dari keningnya yang bercucuran dan mengalir menuju matanya yang kurasakan. Aku tahu ia lelah dengan teriknya mentari. Kuseka keringatnya dengan sapu tangan dari kantong celanaku. Hirupan nafasnya terasa sampai tanganku.
“Mari kita lanjutkan.” Aku mengajak dan menuntunnya kembali melewati beberapa langkah lagi. Setiap langkahnya terhitung bagai pengalaman bagi perjalanan kami menuju titik akhir kebersamaan.
“Biar ku pegang tanganmu dan aku berjalan di depanmu, agar kau tidak tersandung jika ada batu di depan. Tetap ikuti aku. Kita tidak akan tersesat. Aku yakin.” Nadaku penuh keyakinan.
“Ya Mas, kau adalah imamku.” Balasnya.
Kami pun kembali berjalan. Tangan kananku memegang tangannya; dingin, senyap, dan begitu menyejukkan. Sementara tangan kiriku memegang tongkat. Kuraba jalan dengan tongkatku. Jalan di depan berbatu, namun tongkatku telah merabanya lebih dulu, hingga aku tidak terjatuh karenanya.

Ulang tahun

Handoko sedang bingung. Begini ceritanya.
Handoko terlalu di pusingkan oleh pikirannya sendiri. Bagaimana tidak, katanya dalam hati. Ia akan menghadapi hari ulang tahunnya yang ke-35. Seharusnya bagi orang-orang menghadapi hari ulang tahun adalah hal yang indah, akan banyak kado-kado atau hadiah dari orang tersayang yang di berikan. Tapi, tidak dengan Handoko. Hari ulang tahunnya adalah musuh tersendiri baginya sekarang.
Dua hari menjelang, Handoko benar-benar berusaha melupakannya. Di lakukannya hal-hal yang membuatnya lupa. Memancing. Handoko pergi memancing. Sebuah pancingan dengan kailnya adalah teman setia di saat Handoko bingung.
Sebuah kali di dekat rumahnya menjadi tempat yang selalu ia tuju. Kalinya besar dengan batu-batu berjejer tidak teratur: besar menjulang menghadang arus air yang kuat, sebagian kecil berlumut; jika terinjak akan terjatuh siapa saja orangnya. Selebihnya hanya berupa kerikil yang terbawa arus begitu saja. Handoko tidak pusing dengan itu. Ia duduk di sebuah batu yang besar tepat di tengah kali.
Siulannya sangat khas. Menirukan lagu masa mudanya. Koes plus –bujangan. Bukan tanpa alas an. Ia masih juga membujang. Handoko diam lama menunggu seekor ikan menghampiri pancingannya. Ia lupa sekarang akan hari ulang tahun itu.
“Berapa usia kau sekarang heh?”
“26 tahun Abang, memang kenapa?”
“Kau belum juga menikah.” Teriaknya sambil tertawa.
“Apa urusannya dengan Abang!” Handoko menggertak. Ucapan tetangganya membuat dirinya muak. Si Batak itu terlalu ikut campur urusannya.
“Hati-hati kau bujang. Bisa perjaka sampai tua kalau kau tak kawin.” Logat batak itu seakan terus terniang dalam pikirannya sampai sekarang.
“Urus saja istrimu itu.”
Hampir terjadi sebuah pertengkaran hanya karena cekcok keduanya, untung Handoko bergegas pergi. Sejak saat itu Handoko benar-benar muak melihat usianya yang semakin beranjak, sedangkan ia belum punya seorang istri. Handoko juga muak kepada tetangganya si Batak. Yang lebih mengerikan, ia seakan membenci tanggal lahirnya. Sialan. Umpatnya dua tahun lalu.
Pancingannya bergoyang. Kailnya terasa ada yang menarik. Lamunan Handoko buyar seketika.
“Dapat.” Ia berteriak di riak air dengan kuat serta kuat menarik pancingannya. Sebuah kepiting tersangkut sambil mencoba melepaskan diri, “sial.” Katanya sambil melempar kepiting jauh ke arah hulu.
Sekarang umpannya di ganti lagi, cacing tanah yang dibawa Handoko dari sawah kembali di ikat pada kail. Handoko bingung kenapa ikan tidak satu pun yang menghampiri kailnya.
“Lihat anak kita yang lucu. Matanya mirip aku, sedangkan ia cantik mirip ibunya.” Kata Handoko bahagia.
“Ia mas. Akan kau beri nama siapa anak kita?”
“Terserah kau saja. Aku ikut. Asal jangan Tukiyem saja.”
“Ah, kau ini mas bisa saja.” Istrinya tersipu malu.
Lamunan akan kejadian beberapa tahun ke depan juga buyar. Kailnya kembali di tarik. Ia berharap itu ikan. Ikan Mujair. Pikirnya sambil menariknya.
“Binggo. Ikan mujair.” Serunya sendiri di tengah lamunan yang hilang sesaat.
Pancingannya diletakan sambil ia mencari keresek untuk tempat ikan. Senyumnya terus mengembang tiada henti. Siulannya semakin keras ia lantunkan.
Dari dalam riak air sesaat terdengar sebuah ucapan aneh, “Dua hari lagi Handoko.” Katanya tertawa puas. Handoko terperanjat dan menoleh kesegala arah. Nafasnya mencium gelagat aneh, tiba-tiba ia ketakutan setengah mati. Keheningan muncul perlahan sampai tidak sama sekali terdengar suara, Padahal baru saja riak air terdengar keras, hanya suara detak jantung yang begitu cepat menggema memenuhi ketakutannya.
“Siapa?” Katanya takut, “semoga bukan hantu.” Mulutnya berkomat-kamit. Namun bukan sebuah jampi-jampi, hanya kata-kata untuk membuatnya tidak terlalu takut pada situasi tersebut.
“Tidak perlu takut Handoko. Tidak perlu takut Handoko. Tidak perlu takut Handoko.” Katanya berulang-ulang.
“Tinggal dua hari lagi. Kau harusnya merasa bahagia.” Kata suara aneh itu lagi.
Handoko menutup telinganya. Pancingannya jatuh ke air. Cacing-cacing melarikan diri dari plastik.
“Tidak ada suara lagi.” Katanya merasa menang, “ia hanya pikiranku.” Tantangnya.
Buah kelapa jatuh tepat di belakang batu tempat Handoko duduk. Handoko bertempur dengan ketakutannya, ia melompat ke air. “Siapa itu? Kau beraninya main belakang denganku. Hadapi aku jika kau berani.” Teriak Handoko menantang dalam air. Sekarang tubuhnya basah kuyup. Hanya rambutnya masih kering.
“Sial hanya sebuah kelapa. Aku tidak perlu takut.” Bentaknya sambil nafas terengah-engah.
“Dua hari lagi Han. Dua hari lagi.”
“Kau datang lagi. Sebenarnya siapa kau pengecut. Keluar kau.” Nadanya amat menentang, ia sekarang bersiap untuk melawan. Air di sekelilingnya di tepuk hingga cipratannya membasahi batu tempat ia duduk tadi.
Pancingannya sudah jauh hanyut terbawa air. Cacing-cacing juga kabur. Hanya potongan tubuh cacing mati yang masih ada di dalam plastiknya.
“Kau takut. Kenapa kau diam!!”
“Kau yang takut Handoko. Kau yang pengecut. Kau yang berlari jauh menghadapi aku.”
“Siapa kau?”
“Aku adalah dirimu dua hari lagi.”
“Apa.” Teriak Handoko memperjelas hal yang benar-benar aneh itu.
“Aku tanggal 24 Januarimu.”
“Hahaha, kau bohong. Tidak ada tanggal yang bisa hidup. Buktinya kalender-kalender di rumahku juga tidak bicara, padahal tanggalnya banyak melebihi dirimu yang hanya satu hari.”
Handoko merasa dirinya sinting, ia tidak lagi menjawab kata-kata si 24 Januari. Lalu ia sengaja menutup lagi telinganya sambil naik ke atas batu itu lagi.
“Selamat ulang tahun Handoko.”
“Ya.” Jawabnya refleks, “hei kau menantangku.” Handoko melanjutkan setelah ia sadar jawaban tiba-tibanya itu.
“Kau benar-benar penakut. Kau takut olehku. Juga oleh si batak itu bukan.”
“Jangan kau sebut namanya lagi di hadapanku. Aku muak dengan si batak itu, juga denganmu.”
“Kau ini Handoko.” Kata si 24 Januari.
Handoko mengambil sebuah kayu. Tangannya kuat mengepal, sekarang Handoko siap untuk berperang dengan musuhnya yang datang dari riak air. “Jika kau tidak keluar. Aku yang menang.” Teriak Handoko. Kayu itu di bantingkan hingga riak air itu menjadi tidak menentu bunyinya. Cipratannya semakin membuat handoko basah, seluruh tubuhnya basah.
“Lihat siapa yang menang?” Sekarang Handoko benar-benar marah, namun terkekeh setelah lama tidak terdengar suara itu.
Handoko membusungkan dadanya. Sebenarnya ia sangat kelelahan, keringatnya bercapur air, nafasnya terengah-engah, dan bibirnya berkomat-kamit menandakan ia merasa menang dalam pertempuran dengan musuh yang tidak nyata.
“Kau bodoh Handoko. Kau merasa menang dariku. Sungguh bodohnya dirimu.”
Handoko kaget, suara itu muncul lagi. Lantas dengan cepat ia membalas, “Aku akan selalu menang, si batak itu juga akan kupukul jika aku berniat. Aku selalu menang. Hanya, waktu itu aku tidak mau, karena ia adalah tetanggaku.” Handoko bicara dengan nafas yang masih belum pulih seperti biasa.
“Kau merasa menang dariku?”
“Karena kau tidak menampakan diri, maka aku menang toh?” Tanya handoko sembari terus membusungkan dada, tangannya di lebarkan dengan jari yang sedikit di gerak-gerakan. Ia melihat sekelilingnya dengan angkuh.
“Bagaimana mungkin Handoko. Buktinya kau masih berlari dariku.”
“Tidak aku siap melawanmu.”
“Percuma karena aku bukan lawanmu.”
“Baik, bagaimana agar aku bisa menang darimu?”
“Mudah saja. Tunggu dua hari lagi.”
“Berarti kau yang pengecut. Kau yang melarikan diri dan bersiap dua hari lagi bukan?” Bisik Handoko pelan pada riak air tempat munculnya suara itu.
Handoko memeras bajunya. Cucuran keringat panas dan air cipratan yang dingin itu jatuh membasahi kerikil pinggir kali. Kemudian ia keringat di mukanya, “Baiklah, aku sudah muak bertempur denganmu. Jika saja kau tampak menyerupai manusia, akan kupukul kau dengan tanganku, tidak perlu dengan kayu ini. Sekarang katakan, bagaimana agar aku menang dalam pertempuran denganmu dua hari lagi.” Handoko mencoba untuk bersabar. Nadanya melunak. Sebenarnya ia sudah benar-benar lelah. Namun, ia tidak berniat pulang karena ia enggan di anggap pengecut.
“Begini, jika kau ingin menang, maka buatlah hari itu begitu menyenangkan…”
“Caranya.” Tukas Handoko memotong.
“Begini, kau harus bisa membuat lelucon di hadapanku.”
“Tapi kau tidak nyata bukan? Lalu apa aku harus membuat lelucon untuk diriku sendiri. Kau gila.”
“Kalau begitu kau kalah.” Bisik si 24 januari.
“Baiklah-baiklah, akan kulakukan. Bagaimana kalau sekarang saja leluconnya?” Pinta Handoko.
“Berarti kau takut jika begitu.”
“Tidak.”
“Kau menghindar lagi.”
“Ya.” Jawab Handoko kaget, ia tidak memikirkan terlebih dahulu kata-kata yang ia keluarkan sekarang, “Tidak. Tidak. Aku berbohong tadi, aku tidak akan menghindar barang sejengkalpun.” Bantahnya kemudian.
“Sudahlah Handoko, aku tahu dirimu sejak lahir. Ucapanmu yang tadi adalah kata hatimu. Aku bisa saja kau kalahkan jika nada bicaramu sopan dan terutama jujur dari hatimu.”
Handoko terdiam lama. Ia merasa di kalahkan oleh tanggal aneh yang bisa berbicara. Mukanya memerah seperti tomat matang, dan merekah seperti daging buah delima. Bayangan-bayangan akan ejekan dari segala arah muncul lagi dengan cepat.
“Handoko kau kalah lagi oleh tanggal lahirmu sendiri.”
“Diam kau batak. Kau mau berkelahi lagi denganku.” Tantang Handoko.
“Ah, kau tidak akan berani menghadapiku, hadapi saja dirimu yang semakin tua Handoko.” Si batak itu benar-benar mengejeknya sekarang.
“Tidak.” Handoko memegang kepalanya, bayangan si batak muncul lagi untuk menantangnya.
Siang itu adalah sorotan matahari yang kuat. Handoko di buat gerah olehnya. Nada bicaranya seperti belut yang terkena pasir panas. Ia berguling-guling tidak menentu di atas pasir pikirannya. Sepertinya semuanya selalu membuat handoko kalah. Cacing itu juga menertawakannya meski sudah berupa potongan-potongan kecil tidak bernyawa. Potongan itu bergoyang mengejek Handoko menandakan sebuah tarian kemenangan. Handoko muak dengan semuanya.
“Kau tidak nyata.” Handoko mencoba memenangkan hatinya sendiri.
“Kau ini Handoko.” Si 24 Januari tertawa keras.
“Tidak.” Handoko lari pontang-panting meninggalkan kali.
Pancingan dan bajunya sudah tidak lagi ia pikirkan. Hanya dua hari lagi ia akan berulang tahun. Si batak pasti akan mengejeknya lagi.
“Tidak.” Teriak Handoko sambil berlari pulang.

Ibarat pepatah

Kapan pohon itu layu?
“Kemarin.”
Apa kau tertawa saat itu. Padahal ketika itu kau harusnya menangis sambil merenung. Membuka bukan menutup. Sampai sadar
Bunga tidak bermekaran bulan ini
September kelabu
Daku harus menunggu kehadiran taman bertahun puluh, atau ratus
Bukan dengan diam selalu
Menginjak, melangkah, berbuat, agar tidak runtuh
Kita akan bernafas bersama, menyadari bagaimana agar semua tiada lagi kerisauan dengan keadaan yang sebenarnya sebuah keinginan untuk menghamparkan banyak impian
Datang, datanglah, datang pada kami dengan kesejukan
Biar kau jaga dan kujaga

Manusia kotak-kotak

Bulan ini televisi menyiarkan sebagian besar berita tentang keadaan negri ini yang bergejolak
Suami-suami duduk depan televisi sambil mengecilkan volumenya, lalu kembali menghirup kopi dan sebatang rokok
Ibu-ibu menjawab telepon, “Kecilkan volumenya!” bentaknya pada televisi
Anak-anak duduk sambil menunggu kartun kesayangannya muncul. Hore… sesaat lagi katanya
Wanita muda dan pria, mereka duduk depan meja komputer, menyalakan situs pertemanan lalu berkata, “Hai.”, hai.. pada setiap muka
Nenek duduk menunggu datangnya keadaan yang menyatukannya dengan kakek
Aku mengutuki keadaan diriku
Sementara kucing membuang tahinya dekat pot di teras depan

Silhouette

Lelah yang kurasakan resah, kuletakan pada seekor kelalawar
di malam buta
bukan buta-buta
Warnaku gelap, aku berwarna tak cerah
melebihi malam, menyerupai arang

Sebut saja ia malam
Mengenang kelangsungan waktu saat mereka terbenam
Hiruk pikuk, kicau, dan nadanya tidak terdengar
Sampai pagi
ia lelah
ia malam yang lelah

Ah, andailah kusebut ia bulan
ia desember berbintang, ia menunggu bagai kepompong
Setengah ia akan menjadi baru
Andailah ia desember

Oh Tuhan, sebut saja ia mata dari penglihatan seorang buta
Yang hina, yang lelah, yang tidak sama sekali berdaya
Sebut saja ia…
Beri waktu pada ia semalam lagi

Aku bukan anak dukun beranak

Jalan hidup si jabang bayi berbeda, begitu yang aku tahu. Sedikit memang pengetahuan itu, namun aku telah bisa mengenal bagaimana jeritan tangis si jabang bayi yang masih merasa hangat dalam kandungan ibunya. Beberapa diantara mereka pernah bercerita padaku, bahagianya, sedihnya, susahnya, atau bahkan keinginannya segera mengetahui isi dunia luar yang benar-benar menggebu. Dunia luar yang sebenarnya sangat kejam. Kejam.
“Enam bulan lagi aku akan menjadi anak manusia”
“Ya, tunggu saja sampai enam bulan lagi. Di luar kau harus menjadi orang yang berguna, menyayangi kedua orangtuamu, menyayangi bumi tempat tinggalmu, dan terlebih menyayangi Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari sperma dan ovum.” Malaikat berkata.
“Lama sekali di dalam sini. Aku sangat merasa enak dan hangat di sini, namun aku telah tidak sabar ingin menghirup udara yang tidak hanya dari paru-paru bakal calon ibuku.”
“Tunggu enam bulan lagi.”
Beberapa dari kami sudah sangat tidak sabar akan itu, terlebih saat kaki dan tangan kami menendang rahim ibu kami. Kami ingin segera mengetahui wajah ayah yang tampan, wajah ibu yang cantik, dan bagaimana dengan wajah dunia. Beberapa dari kami ingin segera menangis bahagia di pelukan ayah dan di dekapan ibu.
“Tunggu enam bulan lagi.”
Ini baru bulan ke-tiga ketika si jabang bayi masih belum menyerupai bentuk manusia yang seutuhnya. Tangannya masih belum terbentuk, matanya masih belum terbuka untuk merasakan gelapnya alam rahim, dan bentuknya lebih menyerupai alien berkepala besar. Ini masih beberapa bulan lagi untuk menjadi bentuk manusia utuh dalam rahim. Punya mata, telinga, hidung, tangan, kaki, dan lainnya. Juga masih beberapa bulan lagi sampai kami di bentuk sebagai lelaki yang tampan atau perempuan yang cantik jelita. Masih beberapa bulan lagi.
“Tunggu enam bulan lagi.” Aku benci mendengar kata-kata itu, bahkan kamu pun akan sangat benci dan bosan mendengarnya.
000000000
Wanita itu. Wanita cantik yang sedang berdiri mematung di dalam kamar mandi. Entah siapa wanita cantik itu. Wanita itu tidak sedang mandi, juga tidak sedang buang air besar. Wanita itu hanya sedang berdiri memegangi sebuah kotak tipis berwarna putih. Entah apa itu.
Wanita itu sangat risau, detak jantung yang jadi ukurannya. Bibirnya sedikit ia gigit, dan matanya sedikit berharap. Ia, wanita itu masih berdiri dan menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar mandi yang licin dan dingin. Harapan itu masih ada.
“Semoga tidak terjadi.”
Aku semakin bingung. Apa maksud wanita itu.
“Tidak.” Wanita itu menangis sejadinya. Isaknya sedikit ia tahan. kran dari shower di putar. Air itu menetes, menetes pula air matanya. “Tidak.” Tangisnya tidak bisa ia tahan sekarang. Ia menjerit. “Tidak.” Ia memukulkan tangannya yang halus ke dinding. “Tidak.” Air matanya tidak berhenti mengalir. “Tidak.” Tubuhnya di basahi dengan air. “Tidak.” Ia merebahkan tubuhnya di bathtub. “Tidak.” Ia, wanita itu menenggelamkan sendiri tubuhnya, seperti menenggelamkan harapannya sebagai wanita muda. “Tidak.” Ia menjerit begitu keras, semakin keras, dan keras. Melebihi air di shower yang telah lama menjerit.
Jalan hidupnya masih panjang, tapi ia begitu merasa pendek. Seakan ia ingin mengakhiri saja hidupnya. Dengan cepat hingga ia tidak ingin mengeluarkan tubuhnya dari air yang biarpun dingin merasuk, biarpun dingin membunuh, juga biarpun membuat menggigil amat sangat. Sangat.
“Bangunlah Bu.” Si jabang bayi memberinya sebuah pertanda. Tapi ia tidak bisa melakukannya, tangan dan kakinya belum terbentuk.
“Bu, aku mohon bagunlah. Tidakkah kau merasa dingin, begitupun aku. Aku adalah buah dari cintamu dan calon ayahku yang entah siapa. Bu, aku mohon bangunlah. Tidakkan kau tahu aku ingin seperti yang lain. Yang sedang bahagia menunggu enam bulan lagi, yang mungkin juga tidak sabar menunggu beberapa bulan lagi. Sekali lagi Bu, bangunlah. Tidakkan kau kasihan melihat diriku yang kau sesali.”
“Tidak.” Pelan jawabnya.
00000000
Lain denganku. Aku telah sangat bahagia menanti kebangkitanku yang tingga tiga bulan lagi. Kaki dan tanganku sudah hampir sempurna. Ibuku tidak pernah menenggelamkan dirinya di bak mandi seperti ibumu yang sekarang melakukannya. Aku sangat bersyukur ibuku adalah wanita yang sangat mengerti aku. Ia memberiku sayuran segar, susu yang enak dan juga kasih sayang yang tidak bisa ku gambarkan. Saat aku belum bangkit pun ibuku seakan telah membangkitkan semangatku untuk hidup ke dalam dunia.
“Aku sayang Ibu, akan kusabar menunggu tiga bulan lagi.”
“Sebentar Nak, beberapa saat lagi kau akan menjadi manusia sempurna. Jika kelak kau lahir sebagai perempuan, aku akan beri kau nama Marni, dan jika lelaki akan kuberi nama Satria agar kau seakan menjadi satriaku dan menjangaku sampai aku pergi. Sabar Nak.” Ibu mengelus perutnya juga tubuhku di dalamnya.
0000000
Wanita itu, yang tadi menggigilkan tubuhnya di kamar mandi. Sekarang ia berjalan sempoyongan dan gundah menuju sebuah rumah kecil di dalam kebun. Kegundahannya amat sangat. Hingga pikiran dan langkahnya sendir tidak ia ketahui jalannya. Ia biarkan saja kegalauan itu sampai ia menginjakan kaki di depan rumah itu. Rumah sejuk.
Wanita itu sekarang sudah tidak lagi gundah. Tujuannya sudah ia mantapkan. “Maaf.” Kata itu keluar saat kaki kanannya masuk ke teras rumah itu.
“Dimana kita Bu.”
Wanita itu telah masuk ke dalam rumah. Ia duduk di atas dipan dari bamboo musim kemarau. Seorang wanita lainnya menghampirinya. Keduanya sangat cantik, wanita itu dan sang empunya rumah yang ternyata ibuku. Apa yang mereka lakukan di sini. Pikirku.
Tiba-tiba saja mereka bercakap panjang. Wanita itu seakan amat sangat berharap Ibuku mau menolongku. Sedangkan Ibu hanya bisa menggelengkan kepala. Wanita itu mengeluarkan sebuah amplop tebal. Entah isinya apa. Ibuku masih sedikit menggelengkan kepala.
“Tolonglah Mbah.”
Di sodorkannya amplop itu lebih dekat ke tangan Ibuku yang oleh wanita itu di sebut mbah. Aku tidak suka nama itu, ibuku masih muda dan pantas di panggil tante atau kakak.
“Atas nama perempuan. Sungguh aku memohon. Berapapun biayanya.”
Ini seakan menjadi rizki bagi Ibuku dan aku tentrunya. Aku mungkin akan sesekali merasakan bagaimana lezatnya daging sapi yang tentunya belum pernah aku rasakan . Sementara ibuku masih menggeleng. Wanita itu tidak putus asa. Kembali ia ceritakan kisahnya. Beberapa jam, hampir lama sekali. Sesekali wanita itu menahan isak tangisnya juga.
“Aku takut Nyonya, lihat sendiri keadaanku. Kau tentu takut jika posisimu berada di pihakku.”
“Sekali saja Mbah. Aku mohon. Aku malu jika harus menanggung ini. Coba Mbah ada di posisiku. Aku mohon.”
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Namun sesaat kemudian terdengar suara jeritan si jabang bayi dari rahim yang lain. Di iringi erangan kesakitan dari wanita itu. Aku semakin tidak mengerti terlebih ibuku mengunyah daun sirih yang tidak aku ketahui kebiasaan itu.
Sementara jeritan itu semakin keras. “Bu, apa yang kau lakukan. Tidakkah kau takut dosa, tidakkah kau sayang pada buah cintamu, tidakkah kau mendengarku yang sedang menjerit sakit, tidakkah kau mau melihatku sedang tersenyum dan menangis di pangkuanmu.. Apa yang kau lakukan Bu. Hentikan, atas nama Tuhan dan cintanya kepadamu, kepada kita berdua.”
Aku mendengarnya, jeritan itu begitu keras. Aku mengerti sekarang apa yang dilakukan Ibuku dan Wanita itu. Rasa ibaku timbul bergejolak.
“Bu jangan lakukan. Aku tidak tega melihatnya. Apakah kau juga tega melihat jika aku di keluarkan paksa seperti jabang bayi itu. Aku juga mohon Bu, hentikan.”
Jeritan kami berdua tidak mereka indahkan. Sesaat jeritan jabang bayi itu terhenti. Ia mati. Mati di tangan Ibuku. Di harapan yang hilang di wanita itu.
“Bu, aku membencimu. Kau membunuh sesamaku. Jika aku bisa keluar dan menjelma menjadi lelaki dewasa, akan ku tampar dirimu meski aku sangat menghormati dan menyayangimu.”
Harapan itu hilang mengalir. Diiringi aliran darah yang keluar dari rahim wanita itu. Ibuku membungkus janin si jabang bayi. Terakhir aku mendengarnya, mendengar jabang bayi itu berkata, “Bu, aku akan tetap menyayangimu sebagai ibu. Tapi akan benar-benar mengutuk hari ini juga wanita yang kau sebut Mbah itu.”
“Maaf saudaraku. Ini salah Ibu kita berdua. Aku juga benar-benar membenci ibumu dan ibuku meski aku sangat menyayangi mereka seperti kau menyayangi kaum wanita yang mulia.”
Aku diam sendiri di dalam sini. Di perut wanita yang menjadi ibuku kelak. Aku anak dukun beranak.
“Beberapa bulan lagi.”
“Beberapa bulan lagi.”

Sajak di negeri sebrang

Sungguhpun aku bukan seorang suci, tapi niscaya tanpa duri bagi kami
kaum-kaum kecil dalam bingkisan sebuah kerajaan surgawi
penghuni-penghuni dengan nama-nama berupa kepolosan, layak seperti dibodohi
ah, sudahlah tak perlu mengutuk satu nama dan peristiwa
ini omongan ketika perut bukan lagi alasan untuk dibohongi, oleh surga
senandung juga nyanyian bagiku seperti untaian kata-kata yang berlalu
aku lihat paman, bibi, emak, nenek, masa seorang kakek
hijrah katanya
lho, Nabi juga hijrah dalam sejarah
seorang mengisahkan pada kami bahwa Beliau datang dengan diam, berlalu menjalani kisah sedih namun bermakna baik bagi seluruh kaum
itu bedanya sejarah

aku direnggut, dipisahkan dari kaumku
aku bukan Nabi, bukan yang tidak bersedih dan suci
aku hina, lho
lho, bukannya yang merapatkan perahunya di ujung dermaga bernama gedung apa itu namanya saya lupa
perut bukannya tidak salah, tapi lapar bisa diobati oleh tawa-tawa mereka di halaman depan teras
sesekali ingin kukutuki “ya”
mereka mengambil keluargaku satu per satu

Tuesday, December 7, 2010

cuci muka

kaca cermin acak
kaca cermin acak
kaca kaca cermin acak acak
kaca
cuci muka