about

Tuesday, March 22, 2011

Ia, Lelaki Itu

           Dalam pertemuan kemarin, kuanggap ia bukan siapa-siapa bagimu. Setidaknya karena aku sudah mengenalmu begitu lama. Namun, engkau memang sulit ditebak, diammu bukan mengisyaratkan sesuatu, tapi bicaramu tetap juga tetap misteri. Berjuta keinsyafanku juga tidak berarti ladang hijau bagi kita. Tapi, toh aku sudah terlalu lama mengenalmu.
                Seperti siang itu. Saat kutawarkan padamu sebuah kebanggan yang selalu aku sendiri banggakan. Engkau tidak sama sekali menoleh. Malah, kau dengan sedikit risih berkata terima kasih. Aku sendiri bukan orang awam, aku juga mengerti apa arti ucapan itu. Jika saja aku bisa marah, niscaya rasa itu meledak bagai petasan saat musim kawin. Sampai aku berpura-pura kehilangan kesadaran, setelah kau mengucap kata-kata itu, aku beringsut memendam ego. Dengan banyak alibi, aku berpura-pura kehilangan segala yang nyata. Engkau, engkau bukan tidak mengerti. Selalu aku tahu, rupamu begitu dangkal jika kusamakan dengan keresahan ini. Mungkin hanya kau sendiri yang akan tahu apa ini kepura-puraan atau memang betulan. Kuharap kau tersenyum, tapi lantas kau tak bergeming melenggang tanpa menoleh.
                Sementara pohon-pohon melambai padaku, aku berusaha melambaikan juga tangan padamu. Kuharap kau berbalik. Nihil, ternyata dugaanku salah sepenuhnya. Engkau terus melaju bersama seorang yang bukan kuanggap musuh.
                “Tunggu.” Teriakku dengan nada kosong.
                Kau masih juga tak menoleh.
                “Jangan kau buat aku begini.” Kataku lagi.
                Kau masih belum juga mendengar. Punggungmu yang rata telah beranjak pergi digoyangkan oleh kakimu sendiri. Sampai-sampai, dari arahku, kau telihat berjalan angkuh. Kesadaranku kembali pulih. Aku berlari sekencang angin. Kau! Tunggu! Teriakku entah pada telinga siapa.
                “Mas, aku sudah memutuskan.” Katamu setelah membalikkan badan.
                Aku terengah.
                “Aku sudah putuskan untuk tidak lagi mengenalmu, bukankah itu sudah jelas. Seperti inikah sifatmu yang kau agungkan, sifat dewasa seorang lelaki.”
                “Kau sendiri menghianatiku!” Bentakku.
                Lelaki disampingnya diam.
                “Siapa yang berbuat begitu?”
                “Kau!”
                “Bodoh.”
                “Aku memang. Dan, ingat satu hal, perkataanmu ini bukan hal yang baik untuk kuingat. Tapi camkan, jika suatu saat kau menyesal, aku tidak akan sama sekali menoleh padamu barang satu detik!”
                “Sumpah katamu,” ia mengambil nafas, “Sumpah apa yang kau inginkan?”
                “Kau yang melanggar sumpah.”
                Angin bertiup pelan, membawa debu-debu tak beraturan. Terbang, hinggap di satu tempat, lantas terbang lagi tanpa ada yang peduli. Sebagian sumpah serapah memang sudah mulai mereda. Ketika itu aku begitu marah padam memang, tapi ia tidak melayani sama sekali. Mukanya datar. Raut itu masih menggema dalam jengkal-jengkal otak. Sampai ketika aku berusaha mengiyakan bahwa, katanya, aku harus pergi, kemarahanku semakin menjadi.
                “Kuminta satu pinta, dengarkan aku untuk beberapa menit saja! Akan kuceritai kau sesuatu.”
                Ia mengangguk pasrah, sementara lelaki disampingnya tidak berbuat apapun selain terus memandangku curiga.
                Begini: Dahulu, seekor angsa cantik tercipta, ribuan jantan berusaha mendekatinya setiap ia bermanja-manja suatu sungai. Ia memang terlanjur dikutuk oleh kecantikannya, dikutuk pula hingga nyawa-nyawa lain melayang. Banyak dari angsa jantan menyerah, juga banyak dari mereka mati bunuh diri. Mengerikan, mereka membunuh diri dengan terbang setinggi mungkin sampai tubuhnya tidak mampu lagi terbang, terjun cepat, lalu mati mencium tanah.
                “Sudahlah jika itu aku yang kau maksud.”
                “Permintaanku hanya waktu.” Kataku memotong di depannya yang sedang mematung.
                Ia terdiam. Lelaki disampingnya mengerling pada arloji.
                Sampai suatu saat, Angsa yang dulu begitu dipuja dan dipuja, akhirnya merasa sepi untuk kali pertama. Ia malas menggerakkan kakinya saat berjalan di tepi kolam. Ia bahkan malas untuk membuka mulut. Dianggap angsa itu mati, ternyata tidak. Ia sedang berpikir.
                Begini kata si angsa:
                Akan kubuat sebuah perlombaan. Seperti para putri yang akan dipinang. Aku akan meminta sebuah mahar mahkota dari negeri buaya. Mahkota dengan deretan gigi-gigi dari leluhur kaum mereka. Sudah lama aku mendambakannya.
                Berita itu cepat tersebar. Si angsa cantik sudah kembali segar. Banyak dari kaum jantan mencoba, namun sebagian besar hanya menggeleng kepala. Mustahil. Kata mereka. Itu sama saja menyerahkan nyawa pada sang maut. Andai pun berhasil, si buaya akan membalas dendam karena pusaka mereka dicuri hanya oleh makhluk tak berdaya berbulu putih.
                Tersiar kabar, 70 angsa telah mati. Daging mereka terkoyak saat sebelum mereka bisa masuk ke dalam sangkar buaya. Kebanyakan daging-daging mereka dilahap tanpa hitungan detik. Saat itu buaya menjadi keranjingan. Ia begitu senang karena mangsa datang sendiri tanpa harus ia berburu. Buaya-buaya yang lapar sekarang berubah gemuk. Kaum mereka dengan cepat beranak-pinak.
                Sampai suatu hari, seekor angsa jantan muda datang pada si buaya di satu pagi. Buaya yang baru saja berjemur, terkekeh. Ia mengintip berpura-pura menutup mata.
                Dengan gemetar, angsa muda itu mendekat, lantas ia membangunkan buaya tersebut.
                “Tuan, ijinkan hamba datang untuk memohon meminjam mahkota tuan. Jika tuan berkenan, satu hari kemudian akan hamba kembalikan dengan nyawa yang akan saya berikan kemudian. Jika tuan merasa belum cukup, akan kugandakan tubuhku bagaimanapun caranya. Tapi, jika tuan tidak percaya, tuan bisa melahapku sekarang.”
                Buaya itu membuka mata, dihadapannya seekor angsa muda sedang menyembah. Buaya keheranan. Mangsanya sekarang sudah sangat pasrah.
                “Sehari katamu?”
                “Ya. Itu pun jika tuan berbaik hati.”
                “Apa tujuanmu mengambil mahkota kaum kami?”
                “Hamba sudah sangat cinta pada angsa ratu, biar ia tahu bagaimana aku berjuang mendapat itu. Besok juga akan hamba kembalikan. Hanya satu hari.”
                “Setelahnya?”
                “Tuan boleh melakukan apa saja.”
                “Baik, satu hari, kebetulan sekarang aku masih kenyang, mungkin besok aku lapar.”
                Lantas si angsa muda pulang membawa mahkota dengan bertaruh nyawanya sendiri. Bukan hanya keringat atau sepotong daging, tapi perihal nyawa yang akan ia serahkan. Namun, ia begitu bangga karena akan datang seorang ratu meski hanya sehari. Ratu angsa.
                Siangnya si angsa muda datang pada angsa betina. Dengan cepat angsa muda itu berenang menghampiri calon istrinya tersebut.
                “Ratu, kubawakan padamu mahkota yang kau impikan.”
                Si angsa terkejut. Ia dipanggil ratu, dan ia memang akan menjadi ratu dengan mahkota yang sebenar-benarnya mahkota. Dihampirinya angsa muda, matanya menoleh pada mahkota yang tersembunyi dalam sayap kirinya. Sedikit tersembul gigi-gigi buaya berkilauan terkena sinar matahari dan dibiaskan air danau.
                “Aslikah mahkota ini?”
                “Tentu, nyawaku kutaruhkan.”
                Si ratu sumingrah. Mahkota itu disematkan pada kepalanya. Dengan bangga ia mengelilingi danau yang riak airnya tidak terlalu bergelombang. Kepalanya bergoyang-goyang, lantas dikibaskannya sayap hingga air menciprat dari ujungnya. Ratu itu terbang sejenak lalu terjun santai sambil menegakkan kepala sedikit.
                “Sudah lama kuimpikan.” Katanya sambil terengah.
                “Demi ratuku.”
                Wanita yang sedang mendengarku bercerita meneteskan air mata. Ia menutup mukanya dengan sapu tangan. Aku melanjutkan cerita:
                Malam hari, ratu angsa itu bergembira. ia sangat bangga dengan mahkotanya, sampai-sampai ia terus berkeliling memamerkan mahkota itu pada kaumnya tanpa henti. Sedangkan angsa muda sudah tidak bisa berbuat apa-apa, pikirannya akan sampai hanya besok pagi, hidupnya.
                “Ia pangeranku sekarang!” Teriak ratu angsa di atas batu.
                Semua angsa terpana. Tapi, sebagian dari mereka berseru nama angsa muda. Ia dianggap pahlawan yang sebenarnya. Ia berani menghadapi maut. Yang paling mereka kagumi adalah bagaimana ia bisa mengambil mahkota itu tanpa satu helai bulu pun yang rusak.
                Akhirnya, ketika pagi menjelang. Ratu angsa yang sudah terlelap dengan mahkota masih di kepalanya. Angsa muda kemudian pelan mengambil mahkota itu dan pergi menuju sarang buaya.
                Wanita yang sedang di hadapanku melongo. Ia menjepit bibir dengan giginya. Matanya berbinar.
                Ketika sampai, si buaya sudah siap mendapat persembahan.
                “Kau menepati janjimu.”
                “Ya.” Kata angsa muda.
                “Sebenarnya aku tidak begitu tega, apalagi tersiar kabar tentang keberanianmu. Tapi aku juga harus menepati janji. Dan, aku akan memakanmu. Kau siap?”
                “Sesuai apa yang hamba janjikan tuan.”
                “Lantas, apa angsa muda itu mati?” Tanyanya sambil mendekatkan wajahnya pada wajahku yang sedang menunduk.
                “Ya.” Kataku.
                “Mas, lelaki yang sekarang menjadi pendampingku bukan sembarang lelaki. Ia adalah angsa yang memberikkan mahkota itu.”
                “Lelaki tua itu?” Tanyaku masih heran.
                “Ya.”
                “Buktinya?”
                “Ia yang selama ini memberiku kebanggaan, sedangkan kau mas, kau masih belum mengerti apa yang aku butuhkan.”
                “Tapi aku sudah berjuang mencari bekal untuk kita kawin. Lihat, sekarang aku sudah bisa memiliki apapun, aku berjuang.”
                “Bukan soal harta mas,” ia menghela nafas, “ini soal bagaimana cinta itu hidup.”
                “Bohong! Bohong!” Kataku sambil melangkah pergi.
                Kuharap ia akan memanggilku seperti yang kulakukan sebelumnya. Atau kuharap ia akan mengerti perjuangan angsa-angsa yang mati berjuang mendapatkan mahkota.
                Tapi, ia tidak melakukannya meski ia mempunyai mulut!


Babakan sukajadi, 2011

Foto Pak Lurah

               Kututurkan sebuah kisah tentang bagaimana itu dimulai dan berakhir. Namanya juga kisah. Semua terserah pembaca yang menilai. Baik atau buruk atau barangkali serupa jamur di pohon anggrek atau barangkali kisah ini terlalu datar untuk disampaikan. Harap menjadi maklum. Saya terlalu riang menulisnya karena malam sudah terlalu larut dan teman saya sudah beranjak pulang ke rumahnya di bawah bukit sana.
                Awalnya tersebutlah seorang lurah pada zaman ketika Soeharto menjabat pertama kalinya. Seorang lurah bertubuh gempal dengan janggut selebar dagu. Bajunya selalu hitam, kecuali ia sedang di kantor dengan seragamnya dan ketika memakai kolor sebelum tidur sampai ia terbangun dengan keringat sisa semalam. Yang paling kentara dari lurah ini adalah gaya bicaranya yang banyak menyebutkan pengandaian. Hebat ia untuk hal itu. Bagai sutradara dalam teater atau seorang penulis naskah kuno tentang perjuangan diponogoro.
                Pembaca yang budiman. Ia adalah lurah dengan segala keahlian, ia pandai berkebun, bertani, dan membuat komposisi pupuk kandang. Keahliannya ini ia dapat dari ayahnya yang hanya mampu hidup hingga usianya mencapai 40. Namun, kenangannya yang telah membentuk ia menyerupai saat ini. Narrator yang pandai bercocok tanam. Kiranya begitu kisah ini dimulai.
                Warga mengenalnya sebagai seorang yang lebih banyak diam daripada berceloteh tentang kebijakan yang akan ia buat. Maka ketika sebuah kata keluar, kerumunan pamong desa akan mencatatnya dalam sejarah. Raut mukanya berkerut pertanda ia memikirkan betul bobot ucapannya. Pulpen pun seakan bergetar ketika sekertaris desa akan memulai menulis konsep yang entah harus dimulai dengan kata apa.
                Istrinya menilai sang suami adalah seorang idola yang telah meluluhkan hati. Puitis benar kata-katanya, bahkan karenanya ia rela memutuskan silaturahmi dengan juragan padi tetangga desa yang tersohor karena sawahnya berhektar-hektar. Menolak juragan itu ketika meminangnya. Anaknya menilai sang lurah sangat misterius. Tidak seperti lurah sebelumnya yang menjanjikan sawah warisan atau wasiat kekayaan. Hanya sebuah petuah “jadilah seperti bapak.” Katanya.
                Kemasyuran sang lurah tergambar dari foto yang telah terpajang sejak ia menjabat di bulan ke-lima. Juru foto mengambil sudut terbaik, sampai-sampai ia terlihat lebih muda sepuluh tahun dari usianya yang menginjak 45. Pak lurah menyebut sang juru foto adalah orang terbaik untuk mengambil objek dari kamera. Dengan bangga ia selalu melihat fotonya yang terpajang di dinding sebelum membubuhkan tanda tangan dan selalu mengingat bagaimana ia harus tersenyum. Terlebih bagaimana juru foto mengarahkan kemana senyumnya harus berkembang.
                Sesekali istrinya datang berkunjung jika sudah memasak sayur lodeh. Atau jika pak lurah meminta untuk datang saat rapat akan dimulai. Awalnya si istri bingung saat hansip ditugaskan memanggilnya atas nama pak lurah. Namun, akhirnya ia tahu karena setiap ada panggilan itu, maka ia telah siap dengan sebuah cermin, sisir, dan minyak rambut murahan. Istrinya ibarat dukun rias pengantin yang mendandani seorang aktor sebelum pengambilan shooting.
                “Pak, bagaimana kalau kita di foto?” katanya sambil merapihkan baju belakang suaminya, “ya di foto seperti foto keluarga misalnya, kata bapak juru fotonya sangat berbakat.” Si istri melanjutkan sambil sesaat menoleh foto yang sedang tersenyum di sebrang meja.
                “Nanti, kalau ada uang. Biayanya mahal Bu.” Jawabnya singkat.
                “Janji?”
                “Sebelum mati.” Lanjut pak lurah ketus.
                Pembaca yang budiman. Malam semakin sepi, namun kisah ini masih panjang kiranya. Lagi dan lagi saya sebutkan, saya bukan pengarang ulung. Harap maklum.
                Cerita berlanjut ketika suara adzan bergemuruh dari mesjid kampung. Kunang-kunang membawa nyala yang tidak terlalu besar, tapi beruntung listrik sudah masuk desa. Menerang jalan, menerangi bilik, dan menerangi ruang tempat pak lurah bercengkrama dengan istri dan kedua anaknya.
                Sekarang pukul delapan malam. Rasa kantuk masih belum juga menyerang, sedangkan radio sudah tidak terdengar lagi gemuruhnya. Mereka saling memandang, dari satu mata ke mata lain, kemudian berlabuh pada foto pak lurah yang sedang tersenyum. Aneh, foto itu seakan terus ada dimanapun pak lurah berada. Barangkali sedikit gila jika foto itu dipajang di jamban saat bau berak bercampur kentut dan pesing air kencing.
                 “Pak, memang berapa harga satu kali jepret foto?”
                “Ibu terus saja menanyakan itu sejak di kantor. Sudahlah!”
                “Ya, berapa, barangkali Ibu punya uang!”
                “Lima belas ribu, itu pun kita harus pergi ke studio foto abadi di tengah kota.”
                “Ibu ada tabungan, atau ibu jual saja gelang ini.” Jawab istrinya sambil membuka gelang dan menerawangnya perlahan.
                “Sudahlah Ibu ini, nanti saja. Bapak sudah janji toh.”
                Istrinya hanya mengangguk. Kemudian mata mereka tertuju kembali pada foto yang belum juga surut senyumnya.
                “Gagah betul foto bapak.” Kata si istri sebelum beranjak ke ranjang.
                Pembaca yang budiman. Kini hujan turun. Sesekali tetesannya terdengar terlalu merdu. Oh, rangkaian itu bagai nada-nada yang terlalu teratur untuk tidak didengar. Saya teringat sebuah kisah yang diceritakan seorang teman. Namun, ia sudah dewasa. Hingga saya tahu kata-katanya mungkin benar adanya. Katanya jika membikin sebuah kisah jangan meloncat terlampau jauh di kisaran tahun. Ah, tak mengapa, saya hanya senang bercerita.
                Begini. Setelah tidak terpilih kembali menjabat lurah. Pak lurah mulai bimbang. Ia takut orang tidak lagi menghormatinya jika bersua di jalan. Apa jadinya ia jika begitu. Sepanjang hari setelah pemilihan berakhir ia kerepotan menghadapi fakta yang sudah berjalan. Tetangganya yang dulu hanya anak ingusan, telah menjadi lurah. Ia berpikir terlalu keras untuk dirinya sendiri. Alhasil ia jatuh sakit. Sakit yang tidak ada obatnya. Sakit hati.
                “Dibawa saja ke dukun atuh bu!” Kata tetangganya suatu siang.
                Si istri diam. Suaminya memang tidak sakit. Ia baik-baik saja. Ia masih lahap makan. Masih suka merokok. Dan masih bisa bergumul di ranjang. Namun, mungkin karena ia semakin kurus dan pucat basi. Dan lagi suatu hari suaminya muntah darah. Tapi kesimpulannya tidak sakit.
                “Lantas?”
                “Sakit apa ya, bimbang saya menjawabnya.”
                “Dukun bu.”
                “Kau sama saja seperti yang lain Minah, suamiku tidak sakit. Kemarin muntah sekali, tapi tidak lagi. Lihatlah ia sedang tidur pulas sehabis mandiin ayam jagonya.”
                “Nanti kenapa-kenapa bu.”
                “Sebaiknya kita sudahi saja Min.” Kata istrinya lalu masuk ke dalam sambil memegang kangkung di tangannya.
                Pembaca yang budiman. Hujan sudah mulai reda. Mari kita lanjutkan saja.
                Selesai istrinya masak kangkung. Pak lurah sudah terjaga. Ia lalu mengambil kopi yang masih tersisa. Dipandanginya foto yang dulu ia kagumi, meski sekarang ia masih kagum, namun tidak sekagum dulu.
                Pak lurah mengumpat keras tiba-tiba. Mulutnya bersumpah serapah. Nadanya tinggi. Istrinya kaget lalu menghampirinya. Saking tidak bisa bertanya, si istri hanya tertegun dan tidak lagi bisa mendekat. Sekarang jaraknya sektiar dua meter. Itupun terhalang oleh gorden tipis.
                “Sialan si Amin. Ia mengalahkanku di pemilihan lurah kemarin. Apa ia main sogok. Kubunuh ia jika saja benar!”
                Si istri mendatanginya kini, ia sudah tidak tahan mendengar umpatan suaminya yang keterlaluan, “Astagfirullah bapak. Kok bapak mikir gitu. Ini sudah takdir pak. Toh bapak masih mantan lurah, berarti pernah menjabat lurah.”
                “Bisa saja. Toh, aku bakal calon paling kuat. Masa kalah sama anak bau kencur. Ini tidak adil. Pemilihan macam apa itu.”
                “Lihatlah foto bapak, bapak masih gagah, bapak masih lurah bagi ibu. Lihat foto itu. Bapak juga janji akan membawa kami berfoto, bapak masih gagah kok.”
                Pak lurah semakin marah. Ia semakin mengumpat. Istrinya kena semprot. “Kau menghinaku sekarang. Mentang-mentang aku sudah tidak jadi lurah. Apa maksudmu mengatakan aku masih gagah.”
                Istrinya memotong, “Bapak…”
                Namun pak lurah segera menimpali, “Istri macam apa kau!”


Sukajadi 2011