about

Tuesday, December 28, 2010

Aku bukan anak dukun beranak

Jalan hidup si jabang bayi berbeda, begitu yang aku tahu. Sedikit memang pengetahuan itu, namun aku telah bisa mengenal bagaimana jeritan tangis si jabang bayi yang masih merasa hangat dalam kandungan ibunya. Beberapa diantara mereka pernah bercerita padaku, bahagianya, sedihnya, susahnya, atau bahkan keinginannya segera mengetahui isi dunia luar yang benar-benar menggebu. Dunia luar yang sebenarnya sangat kejam. Kejam.
“Enam bulan lagi aku akan menjadi anak manusia”
“Ya, tunggu saja sampai enam bulan lagi. Di luar kau harus menjadi orang yang berguna, menyayangi kedua orangtuamu, menyayangi bumi tempat tinggalmu, dan terlebih menyayangi Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari sperma dan ovum.” Malaikat berkata.
“Lama sekali di dalam sini. Aku sangat merasa enak dan hangat di sini, namun aku telah tidak sabar ingin menghirup udara yang tidak hanya dari paru-paru bakal calon ibuku.”
“Tunggu enam bulan lagi.”
Beberapa dari kami sudah sangat tidak sabar akan itu, terlebih saat kaki dan tangan kami menendang rahim ibu kami. Kami ingin segera mengetahui wajah ayah yang tampan, wajah ibu yang cantik, dan bagaimana dengan wajah dunia. Beberapa dari kami ingin segera menangis bahagia di pelukan ayah dan di dekapan ibu.
“Tunggu enam bulan lagi.”
Ini baru bulan ke-tiga ketika si jabang bayi masih belum menyerupai bentuk manusia yang seutuhnya. Tangannya masih belum terbentuk, matanya masih belum terbuka untuk merasakan gelapnya alam rahim, dan bentuknya lebih menyerupai alien berkepala besar. Ini masih beberapa bulan lagi untuk menjadi bentuk manusia utuh dalam rahim. Punya mata, telinga, hidung, tangan, kaki, dan lainnya. Juga masih beberapa bulan lagi sampai kami di bentuk sebagai lelaki yang tampan atau perempuan yang cantik jelita. Masih beberapa bulan lagi.
“Tunggu enam bulan lagi.” Aku benci mendengar kata-kata itu, bahkan kamu pun akan sangat benci dan bosan mendengarnya.
000000000
Wanita itu. Wanita cantik yang sedang berdiri mematung di dalam kamar mandi. Entah siapa wanita cantik itu. Wanita itu tidak sedang mandi, juga tidak sedang buang air besar. Wanita itu hanya sedang berdiri memegangi sebuah kotak tipis berwarna putih. Entah apa itu.
Wanita itu sangat risau, detak jantung yang jadi ukurannya. Bibirnya sedikit ia gigit, dan matanya sedikit berharap. Ia, wanita itu masih berdiri dan menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar mandi yang licin dan dingin. Harapan itu masih ada.
“Semoga tidak terjadi.”
Aku semakin bingung. Apa maksud wanita itu.
“Tidak.” Wanita itu menangis sejadinya. Isaknya sedikit ia tahan. kran dari shower di putar. Air itu menetes, menetes pula air matanya. “Tidak.” Tangisnya tidak bisa ia tahan sekarang. Ia menjerit. “Tidak.” Ia memukulkan tangannya yang halus ke dinding. “Tidak.” Air matanya tidak berhenti mengalir. “Tidak.” Tubuhnya di basahi dengan air. “Tidak.” Ia merebahkan tubuhnya di bathtub. “Tidak.” Ia, wanita itu menenggelamkan sendiri tubuhnya, seperti menenggelamkan harapannya sebagai wanita muda. “Tidak.” Ia menjerit begitu keras, semakin keras, dan keras. Melebihi air di shower yang telah lama menjerit.
Jalan hidupnya masih panjang, tapi ia begitu merasa pendek. Seakan ia ingin mengakhiri saja hidupnya. Dengan cepat hingga ia tidak ingin mengeluarkan tubuhnya dari air yang biarpun dingin merasuk, biarpun dingin membunuh, juga biarpun membuat menggigil amat sangat. Sangat.
“Bangunlah Bu.” Si jabang bayi memberinya sebuah pertanda. Tapi ia tidak bisa melakukannya, tangan dan kakinya belum terbentuk.
“Bu, aku mohon bagunlah. Tidakkah kau merasa dingin, begitupun aku. Aku adalah buah dari cintamu dan calon ayahku yang entah siapa. Bu, aku mohon bangunlah. Tidakkan kau tahu aku ingin seperti yang lain. Yang sedang bahagia menunggu enam bulan lagi, yang mungkin juga tidak sabar menunggu beberapa bulan lagi. Sekali lagi Bu, bangunlah. Tidakkan kau kasihan melihat diriku yang kau sesali.”
“Tidak.” Pelan jawabnya.
00000000
Lain denganku. Aku telah sangat bahagia menanti kebangkitanku yang tingga tiga bulan lagi. Kaki dan tanganku sudah hampir sempurna. Ibuku tidak pernah menenggelamkan dirinya di bak mandi seperti ibumu yang sekarang melakukannya. Aku sangat bersyukur ibuku adalah wanita yang sangat mengerti aku. Ia memberiku sayuran segar, susu yang enak dan juga kasih sayang yang tidak bisa ku gambarkan. Saat aku belum bangkit pun ibuku seakan telah membangkitkan semangatku untuk hidup ke dalam dunia.
“Aku sayang Ibu, akan kusabar menunggu tiga bulan lagi.”
“Sebentar Nak, beberapa saat lagi kau akan menjadi manusia sempurna. Jika kelak kau lahir sebagai perempuan, aku akan beri kau nama Marni, dan jika lelaki akan kuberi nama Satria agar kau seakan menjadi satriaku dan menjangaku sampai aku pergi. Sabar Nak.” Ibu mengelus perutnya juga tubuhku di dalamnya.
0000000
Wanita itu, yang tadi menggigilkan tubuhnya di kamar mandi. Sekarang ia berjalan sempoyongan dan gundah menuju sebuah rumah kecil di dalam kebun. Kegundahannya amat sangat. Hingga pikiran dan langkahnya sendir tidak ia ketahui jalannya. Ia biarkan saja kegalauan itu sampai ia menginjakan kaki di depan rumah itu. Rumah sejuk.
Wanita itu sekarang sudah tidak lagi gundah. Tujuannya sudah ia mantapkan. “Maaf.” Kata itu keluar saat kaki kanannya masuk ke teras rumah itu.
“Dimana kita Bu.”
Wanita itu telah masuk ke dalam rumah. Ia duduk di atas dipan dari bamboo musim kemarau. Seorang wanita lainnya menghampirinya. Keduanya sangat cantik, wanita itu dan sang empunya rumah yang ternyata ibuku. Apa yang mereka lakukan di sini. Pikirku.
Tiba-tiba saja mereka bercakap panjang. Wanita itu seakan amat sangat berharap Ibuku mau menolongku. Sedangkan Ibu hanya bisa menggelengkan kepala. Wanita itu mengeluarkan sebuah amplop tebal. Entah isinya apa. Ibuku masih sedikit menggelengkan kepala.
“Tolonglah Mbah.”
Di sodorkannya amplop itu lebih dekat ke tangan Ibuku yang oleh wanita itu di sebut mbah. Aku tidak suka nama itu, ibuku masih muda dan pantas di panggil tante atau kakak.
“Atas nama perempuan. Sungguh aku memohon. Berapapun biayanya.”
Ini seakan menjadi rizki bagi Ibuku dan aku tentrunya. Aku mungkin akan sesekali merasakan bagaimana lezatnya daging sapi yang tentunya belum pernah aku rasakan . Sementara ibuku masih menggeleng. Wanita itu tidak putus asa. Kembali ia ceritakan kisahnya. Beberapa jam, hampir lama sekali. Sesekali wanita itu menahan isak tangisnya juga.
“Aku takut Nyonya, lihat sendiri keadaanku. Kau tentu takut jika posisimu berada di pihakku.”
“Sekali saja Mbah. Aku mohon. Aku malu jika harus menanggung ini. Coba Mbah ada di posisiku. Aku mohon.”
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Namun sesaat kemudian terdengar suara jeritan si jabang bayi dari rahim yang lain. Di iringi erangan kesakitan dari wanita itu. Aku semakin tidak mengerti terlebih ibuku mengunyah daun sirih yang tidak aku ketahui kebiasaan itu.
Sementara jeritan itu semakin keras. “Bu, apa yang kau lakukan. Tidakkah kau takut dosa, tidakkah kau sayang pada buah cintamu, tidakkah kau mendengarku yang sedang menjerit sakit, tidakkah kau mau melihatku sedang tersenyum dan menangis di pangkuanmu.. Apa yang kau lakukan Bu. Hentikan, atas nama Tuhan dan cintanya kepadamu, kepada kita berdua.”
Aku mendengarnya, jeritan itu begitu keras. Aku mengerti sekarang apa yang dilakukan Ibuku dan Wanita itu. Rasa ibaku timbul bergejolak.
“Bu jangan lakukan. Aku tidak tega melihatnya. Apakah kau juga tega melihat jika aku di keluarkan paksa seperti jabang bayi itu. Aku juga mohon Bu, hentikan.”
Jeritan kami berdua tidak mereka indahkan. Sesaat jeritan jabang bayi itu terhenti. Ia mati. Mati di tangan Ibuku. Di harapan yang hilang di wanita itu.
“Bu, aku membencimu. Kau membunuh sesamaku. Jika aku bisa keluar dan menjelma menjadi lelaki dewasa, akan ku tampar dirimu meski aku sangat menghormati dan menyayangimu.”
Harapan itu hilang mengalir. Diiringi aliran darah yang keluar dari rahim wanita itu. Ibuku membungkus janin si jabang bayi. Terakhir aku mendengarnya, mendengar jabang bayi itu berkata, “Bu, aku akan tetap menyayangimu sebagai ibu. Tapi akan benar-benar mengutuk hari ini juga wanita yang kau sebut Mbah itu.”
“Maaf saudaraku. Ini salah Ibu kita berdua. Aku juga benar-benar membenci ibumu dan ibuku meski aku sangat menyayangi mereka seperti kau menyayangi kaum wanita yang mulia.”
Aku diam sendiri di dalam sini. Di perut wanita yang menjadi ibuku kelak. Aku anak dukun beranak.
“Beberapa bulan lagi.”
“Beberapa bulan lagi.”

No comments:

Post a Comment