about

Monday, July 5, 2010

Tanah Leluhur

Sejumlah pemuda sedang asyik duduk di atas batu. Wajah-wajah mereka kegirangan saat salah satu diantaranya mendapatkan banyak ikan. Sentanu salah mengira, awalnya ia hanya tidak percaya bahwa hasil pancingannya akan berbuah begitu banyak. Senyum bangga tidak pernah lepas dari bibirnya. Sedang lainnya masih terus konsentrasi dengan kail masing-masing.
Aliran sungai sedang tidak terlalu besar. Riak-riak air mesra menyentuh bebatuan berlumut. Kicau udara meniup daun-daun kelapa. Setangkai ranting mahoni jatuh terlalu cepat menabrak kejernihan air. Cahaya matahari pelan menyentuh membuat kilauan air bagai permata, setitik celah diantara daun-daun yang mulai berbuah. Harum bunga sepatu memancarkan kedalaman rasa dari hasil dorongan sang kumbang.
Sentanu mengingat kembali kenangannya akan sungai ini. Beberapa kali ia membenturkan kejenuhan dengan duduk menyepi dalam keadaan yang tidak ia buat sendiri, alam menjadi begitu mesra menemani. Kekasih-kekasih hati dari buayan dan lambayan pikiran membuat selalu merasa bagai dalam ketidakbimbangan. Ia menyepi seperti hari-hari biasa.
Laksana sepasang kekasih dalam kisah cinta Ramayana. Keduanya adalah sejenak rasa yang ingin berpadu dalam keelokan tiada tara. Bumi telah merestui saat ia meminta restu dengan menjadi sepasang kaki penjaga, sepasang mata pengintai cinta. Sepanjang hidup, adalah kisah ini yang paling ia nikmati. Beragam cara menjadi sekedar pemanis yang terpasang subur dalam kenangan. Ia memposisikan diri sebagai satu makhluk yang sedang merasa seperti tidak lagi berbenturan dengan kehendak bumi yang marah. Seperti gedung tua di ujung kota, belasan pohon, dan ribuan udara panas. Ia datang dengan meninggalkan semua yang telah menjadi hari-hari biasa.
Maharani, wanita yang sedang ia amati dalam bayangan muncul. Rambutnya laksana daun pinus tertiup angin melambai memanggil kegundahan yang tidak bisa ia hampiri. Matanya adalah sepasang buah tempat ia menyandarkan lelahnya. Ia kembali teringat, beberapa bulan lalu, masih belum juga ia lupa.
Kedatangannya hanya sebagai sebuah jawaban atas rasa rindu pada dunia, namun kekasih hatinya tidak jua mendukung. Cahaya berbeda memisahkan keduanya menjelang bencana-bencana terus berdatangan di sana –tempat Maharani menetap-
“Aku menemukan apa yang telah menjadi keinginanku selama hidup.” Urai Sentanu padanya suatu pagi ditelepon, sementara suara lain dari ujung sana menduga hal yang berbeda.
“Kau melakukan tugas dengan benar, apalagi kau punya pendamping dalam kesendirian tanpa aku.”
“Apa yang kau tahu tentang kesendirian?” Tanya Sentanu cepat.
“Aku!”
Sentanu tidak terlalu yakin dengan jawaban itu, meski hatinya terus memaksa untuk meyakinkan. Pikirannya sudah dipenuhi hal busuk dari dugaan kekasihnya. Bimbang sudah ia memikirkan jawaban. Entah harus dengan hati atau pikiran. Sebanyak yang ia tahu, ibarat pepatah, laksanakan kehendakmu pada mereka dengan hati, namun gunakan pikiran saat menghadapi dirimu. Sekarang pikiran dan hati itu berperang.
“Kunjungi aku suatu saat jika kau sedang dalam kebimbangan.” Pintanya, “aku selalu suka di sini. Ini rumah.” Lanjutnya sambil menutup telepon.
Beberapa waktu berjalan, cinta begitu tidak bisa ditebak dengan sebuah pikiran, bahkan hati tidak lagi mampu bicara. Maharani, gadis kota yang begitu metropolis, yang selalu membuat dirinya dalam kemudahan dan pandangan kedepan yang tidak selalu harus sesempit uraian manusia desa. Sentanu mengenalnya ketika masuk jurusan yang sama di universitas. Keduanya dipertemukan tanpa rencana –kecuali Tuhan yang berencana. Hari-hari mereka habiskan dengan beragam argumen tentang masa yang akan datang. Hingga saat mereka memutuskan akan menjalin ikatan suci dalam rumah tangga.
Restu bumi adalah ayah, dan restu langit adalah ibu. Keduanya jauh namun tak bisa terpisahkan. Payung bumi adalah langit, selayang pandang langit adalah keindahan bumi. Langit bukan menang karena tinggi, namun semata karena dibuat posisi yang baik dalam hidup.
Seminggu sudah ia ada di kampung kelahirannya. Seketika semua ingatan kembali indah. Marni sang ibu hanya berharap agar anaknya datang kembali membawa kekasih hati yang akan menjaga mereka di hari tua kelak, sang ayah hanya mengangguk ketika keputusan Sentanu tercapai.
Maharani, begitu masalahnya. Ia adalah gadis kota, seperti gadis-gadis kota lainnya. Pikiran ketakutan akan rasa sulit yang akan dialami kelak menjelang hari tua membayanginya. Semula Maharani setuju ketika sang calon suami pamit ke tanah leluhurnya. Namun, panggilan jiwa menjadi sebuah hal yang terlalu indah untuk melepas kembali tanah itu.
“Kau terlalu beralasan,” sanggahnya, “bagaimana dengan pekerjaanmu yang telah sulit kau cari, kau lepaskan begitu saja?”
Suaranya bising seperti knalpot bus di depan. Beberapa kali nada percakapan mereka meninggi, udara membuat panas semakin panas. “Baiklah, dengarkan.” Sembari menarik nafas Sentanu melanjutkan, nadanya dibuat pelan, “Aku punya sawah dan ladang. Aku bisa hidup dari itu.”
“Kau sama saja dengan orangtuamu. Kuno.”
“Jangan bawa mereka dalam hal ini, ini hanya tentang keinginan hatiku yang begitu besar tertarik. Tanah itu yang pertama aku pijak, dan tanah itu memanggil kembali kaki yang telah lama pergi.”
“Tanahku di sini.” Kata Maharani tanpa menoleh, matanya berbinar sedikit berair mata, pandangannya lurus menembus kaca mobil, dan tangannya masih tertanam di stir mobilnya –memutar ke kanan dan lurus sampai ujung jalan depan rumahnya.
“Dugaanku kau beralibi.”
“Wanita?”
“Apalagi.”
“Kau kenal aku selama tujuh tahun sejak kita sama-sama menginjak kaki di gedung sana. Ini adalah kecurigaanmu yang pertama sejak aku mengenal sifat welasmu.”
“Cemburu adalah tanda rasa sayang seorang manusia.”
“Lantas, apa yang membuatmu cemburu? Toh aku tidak lagi memikirkan hal itu, kita sudah sama-sama dewasa.”
Mobil berhenti, sebuah rumah mewah berlantai tiga samar terdengar dari jedela samping. Pagar setinggi lima meter kokoh berdiri. “Sudahlah.” Teriak Maharani sambil membanting pintu mobil. Sentanu hanya diam tanpa kata, ia mengingat kembali kata-kata yang terucap sepanjang perjalanan tadi. Satu demi satu ia uraikan, dan rasanya tidak ada hal yang sengaja ia buat salah. Semuanya atas nama kasih sayang pada dua keindahan ciptaan Tuhan.
“Nanti malam kuajak kau kesuatu tempat.” Pinta Sentanu sambil melangkah keluar dari garasi. Tangannya mengusap air mata yang jatuh menyentuh bibir mungil, setelahnya ia mengusap bahunya mesra.
Dalam keindahan Tuhan mencipta, segala yang ia beri pada makhlukNya adalah hal yang tidak bisa dilukis dalam keadaan sadar dan akal logika. Cahaya adalah sebuah terang dari kegelapan yang Ia buat, bulan adalah sekiranya setitik keindahan pada malam, bintang menambah mesra uluran kesempurnaan.
Sentanu menunjuk sebuah bintang terang. Dari atas bukit semuanya tampak indah dan mempesona setiap mata. Maharani membungkus tangannya dalam jaket, lebih dalam dari dinginnya malam. Ia melihat arah bintang itu berdiri dan berkedip.
Manusia adalah makhluk berakal dan berpikir untuk segala ciptaan mereka. Olahan tangan mungil mereka mampu mendirikan kekosongan bumi dengan segala yang telah terpikir. Bintang-bintang dari atas sana menjulang dan memberi hal indah hingga mereka mempu menemukan bintang di bumi.
Sekonyong-konyong pandangan Maharani juga tertuju pada sebuah bintang di bawah bukit. Berkedip dengan skala kecil lalu hilang ketika tertutup awan. Sentanu tersenyum mesra pada kekasih hatinya, dipegang tangan Maharani, kemudian ia letakkan di kehangatan dadanya. Ini adalah kehangatan cinta, dan tidak ada yang lebih hangat dari cinta yang Tuhan berikan. Atas nama Dirinya, dan atas nama Cintanya, ia serahkan semua yang telah menjadi panggilan bagi kehidupan manusia kedepan.
“Aku menghargai apa yang menjadi pendapatmu, terlebih rasanya sangat sulit meminta dengan paksaan. Aku sudah terlalu dewasa untuk merengek, dan kau sudah terlalu tua untuk tidak memikirkan sesuatu tanpa logika. Jika suatu hari kau kubawa pada indahnya bintang di langit tempat kelahiranku di sana, kau akan tahu kenapa aku memilih pulang.”
Maharani diam tanpa bahasa, tangannya kembali diselipkan, kali ini pada saku celananya. Sementara galau pikiran membuat ia tidak juga memutuskan keinginan calon suami yang dikenal mempunyai keindahan budi, lebih dari keindahan bahasa. Dipandangnya Sentanu penuh tanya, “Bagaimana dengan hari esok?”
“Itulah bedanya Tuhan dan manusia.” Kata Sentanu pelan.
Sungai mulai tidak tenang saat pancingan Sentanu kembali disambar ikan, suasana hening berubah ricuh saat pemuda lain menghampiri sambil berteriak girang. Tarik ulur bagai roda hidup, teriak bagai suara kemenangan sesaat. Ini ikan yang ke-sembilan, ukurannya lebih besar dari dugaan, seeokor ikan nila tersangkut di ujung kail yang tajam.
“Sentanuuuuu.” Teriak seorang wanita dari atas batu di dekat air terjun, suaranya tidak lagi asing di telinga Sentanu. Sapaan lembut nan mesra dan menyejukan.
Sentanu melempar pancingannya cepat, bergegas langkahnya melompat melewati gugusan batu-batu kali. Keduanya sampai di sana, di ujung sebuah air terjun yang mengalir deras berwarna putih. Sentanu tersenyum sambil mengatur nafas.
“Selamat datang di keindahan yang nyata.” Sapanya.

No comments:

Post a Comment