about

Monday, July 5, 2010

Nina-nina, bobo, bobo

Angin dingin berubah semakin kacau, meniup daun-daun tidak bernyawa yang berserakan memenuhi celah-celah jalanan. Detik-detik waktu membuatnya semakin leluasa menerkam kehidupan; meniup mesra, mencakar, dan membunuh kesadaran. Sambil melambaikan tangan pada seorang wanita, angin bertiup seolah peduli.
Malam ini, entah sudah berapa waktu ia habiskan di jalanan. Pandangannya dibuat lurus, sedang matanya tidak juga berhenti bergetar seakan ia tidak bisa memandang kedepan. Lalu lintas sedang sepi, ujung dari belokan jalan hanya berisi sampah-sampah sisa bungkus makanan. Wanita itu memandang ke arah belokan, berkedip, lalu diam menunggu detakan waktu yang semakin bergema. Ia turun dari trotoar, sejurus kemudian ia menari di tengah jalanan kota. Sepasang mata berlalu hanya dengan tontonan, setelahnya mereka tidak juga bertanya tentang wanita jalan di ujung malam. Dan selebihnya, gertakan-gertakan asap dari knalpot hanya datang, tertiup, dan terbang. Dengan cepat menghilang diterkam gelap.
Nina, begitu nama itu disebut. Tidak lebih dari empat huruf, tidak kurang dari satu kata. Hanya Nina. Dagunya menjadi tajam saat ia berjalan menunduk, seakan jalanan ikut serta menancap pada setiap gerak. Rambutnya selalu hitam. Kaki tumpuan ia berdiri menjadi kokoh berakar ketika diinjaknya sebuah jalanan yang sepi. Jika tangannya memanggil, punggungnya sedikit terangkat lalu kemudian membungkuk seperti kalkun. Saat ia memandang ke arah jam tangan, selendang hitamnya terurai.
Tepat pukul satu. Tangannya meraih sesuatu di tas merah bermotif klasik. Dengan cepat jari-jari itu memainkan sebuah benda berisi harapan-harapan kenangan dan kepedihan. Kepulan-kepulan asap menjadi teman sepanjang ia menghabiskan sisa malam tanpa harapan akan esok. Segera ia mengubah posisi duduknya, dengan cepat punggungnya disandarkan pada sebuah tembok berisi coretan-coretan tidak penting –tidak lebih dari kata-kata kiasan bernada kesombongan. Kemudian punggungnya berlalu saja tanpa memahami isi tulisan-tulisan itu.
Tarikan nafasnya menjadi sedikit ringan, seorang kawan datang. Arjuna katanya. Mereka berlalu dengan cepat. Dengan sedikit ayunan langkah dibantu tiupan angin malam, mereka bergegas meninggalkan dingin. Menikung ke arah kanan, dan hilang dibalik gedung bioskop tua yang pernah tersohor pada masanya.
Dari balik tirai coklat bermotif bunga kemboja keduanya duduk berhadapan. Meja dan kursi menjadi saksi, juga minuman kaleng kosong. Suara nyala tv semakin mengecil ketika volume suara mereka membesar menjelang pagi. Tawa dan derai keringat seakan menjadi soal bagi nyamuk untuk datang menghampiri sekedar menghisap wanginya aroma darah. Nina tidak beranjak sampai ia tersadar bahwa cahaya matahari telah tampak dari celah jendela. Rambutnya basah menjelang pagi, dan ketika ia berdiri spontan, rambut itu terurai panjang sampai rusuk bagian bawah.
Lelaki setengah baya yang ia sebut Arjuna itu tersenyum ramah, tangannya mengelus setiap helai keindahan rambut dan rupa. Sedang Nina hanya membalas tenang, senyumnya adalah lukisan monalisa. Enteng namun mengandung berjuta misteri. Terkandung berjuta kenangan dan kepedihan yang telah dilewati. Tentu mata tidak pernah berbohong dalam segala hal, namun tetap ia menjadi sebuah misteri.
Keajaiban yang beberapa waktu lalu ia harapkan akhirnya datang, sang Arjuna memberinya asa untuk hari esok sebelum ia harus kembali menunggu nyamuk-nyamuk nakal berkeliaran di pinggir jalan. Keduanya berpisah dengan kecupan hangat, terlambat untuk sebuah nama yang sebenarnya harus terlukis.
Beragam hal sudah ia masuki dalam usianya yang baru beranjak 25. Tentang kekasih hati, tentang orangtua, atau tentang hidupnya sekalipun –buruk dan baiknya sebuah kisah- yang sedang berjalan tanpa henti. Mengucurkan keringat lelah dan mencari kedamaian dari hal yang tidak masuk dalam hitungan wanita normal.
Arjuna-arjuna adalah harapan. Namun, semuanya pasti berlalu tanpa ia bisa menghitung sampai hitungan kesepuluh. Saat ia mulai dengan nol, arjuna datang menyapa bagai untaian kesadaran yang begitu indah. Dihitungan satu, semuanya bergejolak panas saat dua tangan saling bergabung dalam rasa dingin. Hitungan dua berupa langkah. Selanjutnya, mereka saling memuji dalam ketidaksadaran masing-masing. Tubuh mereka bersatu sambil menyatukan dua perbedaan menjadi sama di atas tumpukan-tumpukan busa. Dalam hitungan kesembilan, akhir dari apa yang ada dalam pikiran Nina datang. Sebuah sapaan atau makian menjadi penanda baginya. Setelah sekian lama usang memenuhi otak-otak arjuna yang kotor, ia mendapat secuil harap bagi hitungan esok hari.
Sekembalinya Nina dari mimpi buayan semalam, ia berdiri kokoh tersenyum menghadapi hidup yang sesungguhnya. Tari dalam gerak dan alunan nada tidak sama sekali ia buat palsu, semuanya nyata dan tidak dibuat-buat. Ia melangkah seperti wanita melangkah menuju pasar. Membawa uang seperti mereka, mencicipi nikmatnya masakan dengan tambahan garam dan sepiring nasi yang tersaji di meja makan. Siangnya, ia tertidur lelap menandai tubuhnya sudah terlalu lelah untuk bisa berjuang menghadapi mata yang harus terbuka nanti malam. Kejam, alangkah kejam kenyataan ini. Seketika mata terpejam, mimpi-mimpi bergejolak meminta penjelasan dari semua hal yang ia hadapi. Alibi, bahkan dugaan akan kehidupan yang kusut tidak menjadi sebuah pemacu untuk membenarkan apa yang ia lakukan. Salah dalam semua mata manusia, hanya beberapa Arjuna yang benar berkata “Ya”.
Hidup itu saling bertentangan, ada baik dan selalu ada buruk. Jika hal lain berupa nyata, maka lainnya adalah mimpi. Saat bercermin, Nina ada di posisi tengah. Antara hidup dan kehidupan. Semua bayangannya mencatat bahwa buruk adalah hal yang sedang ia cari, namun lamunannya adalah benar karena hidup bukan berarti kehidupan.
Nina terbangun dari kursi sembari menutup cermin. Sebuah rupa berbeda telah nampak menghiasi rona merah wajah. Warna hitam kembali dipilih untuk menutupi tubuhnya. Sepatu high heel tersemat pada kaki putihnya. Cat-cat kuku mentereng berwarna merah tanda ia berani mencakar semua busuknya ide dari sang nyamuk. Barangkali giginya terlalu putih hingga menyilaukan pandangan seorang kawan yang akan berjumpa dengannya saat gelap hanya diterangi lampu. Ia bergegas menjelang mentari membuka jalan pada rembulan agar berjaya setelahnya.
Biar bumi berputar, biar alam berubah, biar semua langkah menjadi semu, dan biar aku menatap kembali angin yang menembus mata. Lelah bukan permainan jiwa, hanya saja semua itu telah terlalu kuasa menantang lemahnya sebuah hati tanpa berujung.
Nina, begitu ia disebut. Mata dari setiap mata wanita. Badut dari segala badut berhidung merah. Katanya sambil menunggu kelemahan lawan jenis, semua tipu daya ini adalah aku. Saat mereka terperangkap, maka lelah sedari tadi yang aku rasakan adalah fana. Aku berjaya, namun lemah setelahnya. Saat badut berjalan di siang hari, maka muka adalah rupa yang sesungguhnya. Namun, malam adalah saat dimana badut bergerak memenuhi tawa-tawa muak yang harus ia rasakan sampai telinganya bosan mendengar rintihan syahdu dalam ruangan kotak.
Terlihat dari ujung sana, seorang Arjuna turun dari mobil sedang berwarna hitam. Nada bicaranya begitu kasar membentak, namun cincin dan kalungnya adalah pertanda ia bernada kaya. Keduanya menyapa tanpa banyak tanya. Setelah berjuang di pojok gang tempat biasa Nina berdiri, lekas keduanya menghilang memenuhi cakrawala malam, berlalu dan berlalu.
Lamat terdengar suara nyanyian, “nina bobo.. oh nina bobo.. kalau tidak bobo digigit nyamuk.”
Persetan dengan lagu itu. Toh, nyamuk lainnya sedang berdatangan sekarang menghisap namun menghidupi. nina bobo.. oh nina bobo.. kalau tidak bobo digigit nyamuk…. Begitu sampai pagi menjadi tanda mentari mengambil kembali kejayaan sang rembulan.

No comments:

Post a Comment