about

Friday, July 2, 2010

menculik presiden

Menculik Presiden

Handoko dibuat semakin geram. Presiden tidak juga beranjak membuka mulut, bibirnya rapat seperti terkunci. Ia semakin menjadi-jadi, usahanya untuk membuat Sang Presiden membuka barang satu kata agar pertanyaan-pertanyaan yang telah dilontarkan mendapat jawaban telah dilakukan dengan segala cara.

Tiba-tiba ia mengambil cemeti. Hentakan demi hentakan bagai bunyi dentuman amarah seorang tuan tanah terhadap budaknya. Lagi dan lagi sampai suara itu pecah memecahkan suasana sepi ruang kosong rumahnya. Kursi yang di pojok sana diambil, lalu ia duduk menghadap muka Sang Presiden. Mulanya ia hanya memandang sambil melotot, tangannya lalu memegang dagu Presiden, disekanya darah yang bercampur keringat. Kemudian pukulan bertubi datang lagi menghampiri muka Presiden yang sudah tidak berbentuk. Matanya bengkak, alisnya robek, giginya tanggal beberapa butir, dan kulit mukanya berwarna merah tercampur darah segar.

“Ini untuk upahmu sebagai Presiden yang mulia.”

“Ini untuk pekerjaanku sebagai karyawan yang lebih layak disebut buruh pecundang.”

“Ini untuk mobil mewah yang kau pakai sehari-hari.”

“Ini untuk harga makanan yang mahal, ini untuk berasmu, untuk minyakmu, untuk kampanyemu, untuk kampanyemu, dan untuk…” Belum selesai ia memaki, sebuah bogem mentah melayang membentur kepala bagian belakang Presiden, “untuk istriku yang menceraikan suaminya karena tidak punya lagi pekerjaan.”

“Kenapa kau diam?”

Sejenak rasa lelah karena terus bicara dengan nada tinggi membuat Handoko diam sesaat. Nafasnya mendadak berat, jantungnya berdebar, dan jarinya gemetar. Sementara cemeti masih terus ia pegang. Ruangan menjadi sepi, hanya terdengar suara hembusan nafas yang sedikit demi sedikit teratur kembali. Handoko menoleh ke arah sekitar, dicarinya alat yang bisa membuka mulut musuh yang tidak lagi berdaya di hadapannya.

“Lihat,” Katanya, “ini sebuah kayu,” Ia melanjutkan, “Kau tahu, ini bisa saja menjadi semacam pukulan terakhir yang bisa kau rasakan. Sementara kau hanya diam saja menunggu untuk ajalmu. Bisakah polisimu datang ke tempat ini dan menolongmu dari kayu yang jadi takdirmu. Heh, Jawab!”

“Kau kira jasmu adalah pakaian kebesaran yang bisa menutupi ajalmu, kau kira aku tidak sanggup membeli pakaian semacam ini?”

Handoko melangkah mundur, ia mengambil segelas air di dapurnya. Ketika ia kembali, sebilah pisau telah di pegang di tangan kirinya. Ia duduk kembali di hadapan Sang Presiden. Mereka berhadapan.

Kau tahu. Katanya. Aku adalah seorang pekerja yang jujur, tidak ada niatku untuk berbuat hina. Aku bisa saja mengambil barang saat mandorku lengah, aku bisa saja mengantonginya lalu menjual ke pedagang asongan di pasar, atau jika aku mau bisa saja pura-pura sakit agar bisa tidak masuk kerja namun tidak pernah ada niatku untuk itu. Handoko mulai melunak, sambil mengasah pisau dengan kaki kursinya. Istriku adalah seorang wanita baik, ia tidak pernah mengeluh saat aku pulang dengan tidak membawa uang. Ia selalu tersenyum walau aku tahu, ia tidak menyembunyikan gurat kesedihan. Aku tahu saja jika ia sebenarnya ingin menangis menyaksikan suaminya pulang hampa tanpa sebutirpun beras, sementara dapur harus terus menyala. Api harus terus membakar panci agar kami bisa makan.

Saat Presiden akan membuka mulutnya, Handoko mencengkram pipi Presiden sambil menodongkan pisau.

“Jika kau orang baik, kau tidak akan membiarkan pemimpinmu ini tersiksa.” Katanya sambil terbata-bata.

“Baik, memang aku orang baik. Benar katamu. Namun, apa aku harus melepaskanmu sekarang?”

Presiden tidak menjawab, ia hanya kembali menunduk menunggu Handoko melakukan hal selanjutnya. Ia semakin pasrah. Nyawanya hanya tinggal menunggu pisau, kayu, atau cemeti yang akan dihujamkan kearah tubuhnya.

“Bodoh.” Bentaknya sambil tertawa keras.

“Hal terbaik yang akan kulakukan adalah mengakhiri sama-sama kesakitan kita. Bukankah kita sama-sama menderita sekarang. Jika aku membunuhmu, kau tidak akan lagi merasa sakit karena terus kupukuli. Lalu aku akan membunuh diriku agar aku tidak menderita menghadapi hari esok. Bagaimana menurut Bapak Presidenku yang terhormat dengan jas dan dasinya ini?”

“Lakukan saja!” Suruh Presiden seakan ia sudah muak dengan semua ocehan Handoko yang sudah hampir satu jam ini terus menjejali telinga.

“Kau takut mati? Kau takut akan kehilangan jabatanmu yang telah susah kau dapatkan? Bagaimana dengan istri, anak, dan cucumu? Kau tidak takut mereka akan menangisimu saat kau ditemukan dengan tubuh kaku dipenuhi darah dan sayatan?”

“Kau keparat yang tidak bisa diam. Lakukan saja, aku akan membalasmu di neraka sana, bukankah aku tetap seorang Presiden dimanapun aku berada?”

“Biadab, kau pikir aku akan juga tunduk di akhirat sana?”

Sambil menatap wajah Handoko yang berjarak hanya beberapa senti dari mukanya, Sang Presiden melotot tajam. Ia seakan membalas tatapan keras yang Handoko lakukan. “Tidak ada yang bisa mengubah takdir lelaki hina.” Katanya kemudian.

Handoko tertawa lepas. Seakan kata-kata umpatan itu adalah sebuah lelucon. Dendamnya semakin subur tumbuh bagai kayu yang terbakar. Lamat terdengar gejolak darahnya yang mendidih, mengalir cepat dari otak ke kaki lalu menjulur memenuhi tiap nadi sekujur tubuhnya.

“Api tidak mampu membakarku di neraka sana. Jika begitu siapa yang kalah?” Handoko semakin tidak terkontrol, tanganya menyatkan pisau itu ke pipi Presiden. Darah segar kembali mengalir, perlahan menyusuri ujung dagu dan menetes diatas celana, terus meresap sampai menembus menuju paha.

“Lihat rasa darah pengecut hina ini. Anyir dan tidak berarti.” Kekeh Handoko setelah menjilat darah dari pipi Presiden.

Brakk

Brakkk. Suara gaduh berlangsung cepat, kemudian suara hembusan nafas terdengar memudar, dan suasana menjadi hening. Tidak ada lagi semua dendam dan perang antara kebisuan juga kemurkaan di benak Handoko. Kursi pun diam membisu menyaksikan tetesan terakhir darah dari nadi Handoko. Hanya sebilah pisau dan bercak darah yang memenuhi tiap jengkal lantai kayu yang masih segar tercium dari ruang kosong itu.

Beberapa saat kemudian suara cecak di tembok gaduh mengunyah nyamuk besar. Di pojok atas kembali satu nyawa melayang, lahap dimakan cecak. Menandakan mangsa dan pemangsa. Lapar dan hidup yang harus terus berlangsung. Cecak itu kemudian kembali berlari menuju nyamuk-nyamuk besar lain yang berterbangan angkuh di samping redupnya lampu bohlam.

Yang Maha Kuasa. Yang Maha Segalanya. Sediakanlah bagi kami kaum cecak ini ribuan nyamuk-nyamuk. Agar dendam perut ini terbalas seperti manusia-manusia yang telah mati dihadapan kami. Cecak bersenandung sesaat sebelum hembusan nafas Handoko yang terakhir. Ketika ia tidak lagi mampu berpikir tentang dendam. Hilang, telah hilang bersama semua yang melayang menuju tempat dimana manusia akan kembali ke asal.

Esoknya warga berkerumun penasaran di hadapan mayat lelaki yang terbujur itu. Polisi-polisi sibuk mencatat semua hal yang akan menjadi bukti kasus ini. Sementara warga terus berdesakan memenuhi ruangan ini, semua sibuk dengan argumen masing-masing.

Tubuh Handoko dibawa menuju mobil ambulan oleh pihak rumah sakit. Sementara ruangan menjadi sepi kembali, hanya dua buah kursi penuh darah yang masih bediri dan menjadi saksi atas kasus matinya Handoko, pemuda yang beberapa waktu diketahui gila setelah istrinya menceraikannya karena kehilangan pekerjaan.

Cecak kembali bersenandung sesaat setelah kembali melahap mangsa nyamuk terbesar yang pernah ditemukan. Lampu redup itu kemudian padam dengan ruang yang pintunya selalu tertutup rapat.

1 comment:

  1. baguuuuuuuuuuuus :bd ! yang ini baru saya mengerti ahaha

    ReplyDelete