Handoko sedang bingung. Begini ceritanya.
Handoko terlalu di pusingkan oleh pikirannya sendiri. Bagaimana tidak, katanya dalam hati. Ia akan menghadapi hari ulang tahunnya yang ke-35. Seharusnya bagi orang-orang menghadapi hari ulang tahun adalah hal yang indah, akan banyak kado-kado atau hadiah dari orang tersayang yang di berikan. Tapi, tidak dengan Handoko. Hari ulang tahunnya adalah musuh tersendiri baginya sekarang.
Dua hari menjelang, Handoko benar-benar berusaha melupakannya. Di lakukannya hal-hal yang membuatnya lupa. Memancing. Handoko pergi memancing. Sebuah pancingan dengan kailnya adalah teman setia di saat Handoko bingung.
Sebuah kali di dekat rumahnya menjadi tempat yang selalu ia tuju. Kalinya besar dengan batu-batu berjejer tidak teratur: besar menjulang menghadang arus air yang kuat, sebagian kecil berlumut; jika terinjak akan terjatuh siapa saja orangnya. Selebihnya hanya berupa kerikil yang terbawa arus begitu saja. Handoko tidak pusing dengan itu. Ia duduk di sebuah batu yang besar tepat di tengah kali.
Siulannya sangat khas. Menirukan lagu masa mudanya. Koes plus –bujangan. Bukan tanpa alas an. Ia masih juga membujang. Handoko diam lama menunggu seekor ikan menghampiri pancingannya. Ia lupa sekarang akan hari ulang tahun itu.
“Berapa usia kau sekarang heh?”
“26 tahun Abang, memang kenapa?”
“Kau belum juga menikah.” Teriaknya sambil tertawa.
“Apa urusannya dengan Abang!” Handoko menggertak. Ucapan tetangganya membuat dirinya muak. Si Batak itu terlalu ikut campur urusannya.
“Hati-hati kau bujang. Bisa perjaka sampai tua kalau kau tak kawin.” Logat batak itu seakan terus terniang dalam pikirannya sampai sekarang.
“Urus saja istrimu itu.”
Hampir terjadi sebuah pertengkaran hanya karena cekcok keduanya, untung Handoko bergegas pergi. Sejak saat itu Handoko benar-benar muak melihat usianya yang semakin beranjak, sedangkan ia belum punya seorang istri. Handoko juga muak kepada tetangganya si Batak. Yang lebih mengerikan, ia seakan membenci tanggal lahirnya. Sialan. Umpatnya dua tahun lalu.
Pancingannya bergoyang. Kailnya terasa ada yang menarik. Lamunan Handoko buyar seketika.
“Dapat.” Ia berteriak di riak air dengan kuat serta kuat menarik pancingannya. Sebuah kepiting tersangkut sambil mencoba melepaskan diri, “sial.” Katanya sambil melempar kepiting jauh ke arah hulu.
Sekarang umpannya di ganti lagi, cacing tanah yang dibawa Handoko dari sawah kembali di ikat pada kail. Handoko bingung kenapa ikan tidak satu pun yang menghampiri kailnya.
“Lihat anak kita yang lucu. Matanya mirip aku, sedangkan ia cantik mirip ibunya.” Kata Handoko bahagia.
“Ia mas. Akan kau beri nama siapa anak kita?”
“Terserah kau saja. Aku ikut. Asal jangan Tukiyem saja.”
“Ah, kau ini mas bisa saja.” Istrinya tersipu malu.
Lamunan akan kejadian beberapa tahun ke depan juga buyar. Kailnya kembali di tarik. Ia berharap itu ikan. Ikan Mujair. Pikirnya sambil menariknya.
“Binggo. Ikan mujair.” Serunya sendiri di tengah lamunan yang hilang sesaat.
Pancingannya diletakan sambil ia mencari keresek untuk tempat ikan. Senyumnya terus mengembang tiada henti. Siulannya semakin keras ia lantunkan.
Dari dalam riak air sesaat terdengar sebuah ucapan aneh, “Dua hari lagi Handoko.” Katanya tertawa puas. Handoko terperanjat dan menoleh kesegala arah. Nafasnya mencium gelagat aneh, tiba-tiba ia ketakutan setengah mati. Keheningan muncul perlahan sampai tidak sama sekali terdengar suara, Padahal baru saja riak air terdengar keras, hanya suara detak jantung yang begitu cepat menggema memenuhi ketakutannya.
“Siapa?” Katanya takut, “semoga bukan hantu.” Mulutnya berkomat-kamit. Namun bukan sebuah jampi-jampi, hanya kata-kata untuk membuatnya tidak terlalu takut pada situasi tersebut.
“Tidak perlu takut Handoko. Tidak perlu takut Handoko. Tidak perlu takut Handoko.” Katanya berulang-ulang.
“Tinggal dua hari lagi. Kau harusnya merasa bahagia.” Kata suara aneh itu lagi.
Handoko menutup telinganya. Pancingannya jatuh ke air. Cacing-cacing melarikan diri dari plastik.
“Tidak ada suara lagi.” Katanya merasa menang, “ia hanya pikiranku.” Tantangnya.
Buah kelapa jatuh tepat di belakang batu tempat Handoko duduk. Handoko bertempur dengan ketakutannya, ia melompat ke air. “Siapa itu? Kau beraninya main belakang denganku. Hadapi aku jika kau berani.” Teriak Handoko menantang dalam air. Sekarang tubuhnya basah kuyup. Hanya rambutnya masih kering.
“Sial hanya sebuah kelapa. Aku tidak perlu takut.” Bentaknya sambil nafas terengah-engah.
“Dua hari lagi Han. Dua hari lagi.”
“Kau datang lagi. Sebenarnya siapa kau pengecut. Keluar kau.” Nadanya amat menentang, ia sekarang bersiap untuk melawan. Air di sekelilingnya di tepuk hingga cipratannya membasahi batu tempat ia duduk tadi.
Pancingannya sudah jauh hanyut terbawa air. Cacing-cacing juga kabur. Hanya potongan tubuh cacing mati yang masih ada di dalam plastiknya.
“Kau takut. Kenapa kau diam!!”
“Kau yang takut Handoko. Kau yang pengecut. Kau yang berlari jauh menghadapi aku.”
“Siapa kau?”
“Aku adalah dirimu dua hari lagi.”
“Apa.” Teriak Handoko memperjelas hal yang benar-benar aneh itu.
“Aku tanggal 24 Januarimu.”
“Hahaha, kau bohong. Tidak ada tanggal yang bisa hidup. Buktinya kalender-kalender di rumahku juga tidak bicara, padahal tanggalnya banyak melebihi dirimu yang hanya satu hari.”
Handoko merasa dirinya sinting, ia tidak lagi menjawab kata-kata si 24 Januari. Lalu ia sengaja menutup lagi telinganya sambil naik ke atas batu itu lagi.
“Selamat ulang tahun Handoko.”
“Ya.” Jawabnya refleks, “hei kau menantangku.” Handoko melanjutkan setelah ia sadar jawaban tiba-tibanya itu.
“Kau benar-benar penakut. Kau takut olehku. Juga oleh si batak itu bukan.”
“Jangan kau sebut namanya lagi di hadapanku. Aku muak dengan si batak itu, juga denganmu.”
“Kau ini Handoko.” Kata si 24 Januari.
Handoko mengambil sebuah kayu. Tangannya kuat mengepal, sekarang Handoko siap untuk berperang dengan musuhnya yang datang dari riak air. “Jika kau tidak keluar. Aku yang menang.” Teriak Handoko. Kayu itu di bantingkan hingga riak air itu menjadi tidak menentu bunyinya. Cipratannya semakin membuat handoko basah, seluruh tubuhnya basah.
“Lihat siapa yang menang?” Sekarang Handoko benar-benar marah, namun terkekeh setelah lama tidak terdengar suara itu.
Handoko membusungkan dadanya. Sebenarnya ia sangat kelelahan, keringatnya bercapur air, nafasnya terengah-engah, dan bibirnya berkomat-kamit menandakan ia merasa menang dalam pertempuran dengan musuh yang tidak nyata.
“Kau bodoh Handoko. Kau merasa menang dariku. Sungguh bodohnya dirimu.”
Handoko kaget, suara itu muncul lagi. Lantas dengan cepat ia membalas, “Aku akan selalu menang, si batak itu juga akan kupukul jika aku berniat. Aku selalu menang. Hanya, waktu itu aku tidak mau, karena ia adalah tetanggaku.” Handoko bicara dengan nafas yang masih belum pulih seperti biasa.
“Kau merasa menang dariku?”
“Karena kau tidak menampakan diri, maka aku menang toh?” Tanya handoko sembari terus membusungkan dada, tangannya di lebarkan dengan jari yang sedikit di gerak-gerakan. Ia melihat sekelilingnya dengan angkuh.
“Bagaimana mungkin Handoko. Buktinya kau masih berlari dariku.”
“Tidak aku siap melawanmu.”
“Percuma karena aku bukan lawanmu.”
“Baik, bagaimana agar aku bisa menang darimu?”
“Mudah saja. Tunggu dua hari lagi.”
“Berarti kau yang pengecut. Kau yang melarikan diri dan bersiap dua hari lagi bukan?” Bisik Handoko pelan pada riak air tempat munculnya suara itu.
Handoko memeras bajunya. Cucuran keringat panas dan air cipratan yang dingin itu jatuh membasahi kerikil pinggir kali. Kemudian ia keringat di mukanya, “Baiklah, aku sudah muak bertempur denganmu. Jika saja kau tampak menyerupai manusia, akan kupukul kau dengan tanganku, tidak perlu dengan kayu ini. Sekarang katakan, bagaimana agar aku menang dalam pertempuran denganmu dua hari lagi.” Handoko mencoba untuk bersabar. Nadanya melunak. Sebenarnya ia sudah benar-benar lelah. Namun, ia tidak berniat pulang karena ia enggan di anggap pengecut.
“Begini, jika kau ingin menang, maka buatlah hari itu begitu menyenangkan…”
“Caranya.” Tukas Handoko memotong.
“Begini, kau harus bisa membuat lelucon di hadapanku.”
“Tapi kau tidak nyata bukan? Lalu apa aku harus membuat lelucon untuk diriku sendiri. Kau gila.”
“Kalau begitu kau kalah.” Bisik si 24 januari.
“Baiklah-baiklah, akan kulakukan. Bagaimana kalau sekarang saja leluconnya?” Pinta Handoko.
“Berarti kau takut jika begitu.”
“Tidak.”
“Kau menghindar lagi.”
“Ya.” Jawab Handoko kaget, ia tidak memikirkan terlebih dahulu kata-kata yang ia keluarkan sekarang, “Tidak. Tidak. Aku berbohong tadi, aku tidak akan menghindar barang sejengkalpun.” Bantahnya kemudian.
“Sudahlah Handoko, aku tahu dirimu sejak lahir. Ucapanmu yang tadi adalah kata hatimu. Aku bisa saja kau kalahkan jika nada bicaramu sopan dan terutama jujur dari hatimu.”
Handoko terdiam lama. Ia merasa di kalahkan oleh tanggal aneh yang bisa berbicara. Mukanya memerah seperti tomat matang, dan merekah seperti daging buah delima. Bayangan-bayangan akan ejekan dari segala arah muncul lagi dengan cepat.
“Handoko kau kalah lagi oleh tanggal lahirmu sendiri.”
“Diam kau batak. Kau mau berkelahi lagi denganku.” Tantang Handoko.
“Ah, kau tidak akan berani menghadapiku, hadapi saja dirimu yang semakin tua Handoko.” Si batak itu benar-benar mengejeknya sekarang.
“Tidak.” Handoko memegang kepalanya, bayangan si batak muncul lagi untuk menantangnya.
Siang itu adalah sorotan matahari yang kuat. Handoko di buat gerah olehnya. Nada bicaranya seperti belut yang terkena pasir panas. Ia berguling-guling tidak menentu di atas pasir pikirannya. Sepertinya semuanya selalu membuat handoko kalah. Cacing itu juga menertawakannya meski sudah berupa potongan-potongan kecil tidak bernyawa. Potongan itu bergoyang mengejek Handoko menandakan sebuah tarian kemenangan. Handoko muak dengan semuanya.
“Kau tidak nyata.” Handoko mencoba memenangkan hatinya sendiri.
“Kau ini Handoko.” Si 24 Januari tertawa keras.
“Tidak.” Handoko lari pontang-panting meninggalkan kali.
Pancingan dan bajunya sudah tidak lagi ia pikirkan. Hanya dua hari lagi ia akan berulang tahun. Si batak pasti akan mengejeknya lagi.
“Tidak.” Teriak Handoko sambil berlari pulang.
No comments:
Post a Comment