about

Tuesday, March 22, 2011

Manusia Ember

Untuk ukuran manusia normal kau telah berubah banyak. Lihatlah cermin jika tak kau percaya. Sebenarnya ini merupakan keraguan bagimu, namun aku telah membuktikannya sendiri. Lihatlah cermin. Aku selalu berkata begitu. Lihatlah cermin!
                Ihwal tersebut tidak terlalu pantas kuucap, apalagi sampai harus berdebat denganmu. Tapi, lagi-lagi, ini semacam jebakan tidak nyata, dan engkau hanya sadar jika mungkin aku beri penjelasan. Sejak lama ingin sekali kujelaskan perihal ini, mungkin ini saat yang tepat, jika pun tidak, aku harap engkau tidak ragu bahwa aku menarik kesimpulan ini dengan sedikit banyak berorientasi pada bab-bab yang lama dikumpulkan.
                Ini berawal ketika kau datang padaku suatu sore. Aku sedang memandang cermin kala itu, melihat-lihat goresan yang tiba-tiba muncul di kening, mencoba berani memegang luka tersebut. Tidak ada satupun yang menyadarkan lamunanku ketika telah lama memandang terdiam, tapi kemudian suara pintu yang kau buka membuat kesadaranku kembali. Kau menepuk pundakku lalu aku tersadar seperti biasa. Kulihat bayanganmu yang telah lama samar, seketika aku tersentak saat tanganku menyalakan lampu yang ada di sebelah cermin. Kau! Teriakku.
                “Lama tidak berjumpa.” Kau bicara seperti kita telah saling melupakan dan mencari satu sama lain. Kau berkata seolah-olah kita baru kehilangan induk untuk kau pegang, padahal kiranya kau tidak datang padaku untuk beberapa bulan.
                Aku masih enggan menatapmu, hanya bayangan di cermin saja yang aku yakini bahwa itu benar-benar kau. Gesture itu masih sama, dan itu yang membuatku yakin. Hanya saja tetap rasa itu bertanya-tanya untuk kesekian kalinya. Ah, lupa, aku beralibi, kau baru mengunjungiku sore ini.
                Kau terlihat mengelilingi setiap jengkal ruangan. Sementara aku enggan beranjak dari cermin, menebak kenapa luka itu tidak terasa sakit. Ah, aku tidak yakin penyebabnya. Kesadaranku sebatas aku menerka, mungkin terjatuh atau sejenisnya. Lalu kau menanyakan padaku perihal foto saat langkahmu terdengar berhenti di depan meja. Aku mengiyakan jika ia perempuan yang sedang hidup berdampingan denganku. Sepertinya engkau akan marah karena menyangka diriku menghianati komitmen kita dulu. Tapi, engkau malah tersenyum. Aku sudah punya sebuah jawaban sebenarnya jika kau bertanya atau marah sekalipun. Ini sudah ada dalam bayangan cermin.
                Kemudian langkahmu tidak berhenti. Aku menghitung berapa kali kau mengetukan sepatu hak tinggimu. Meski pandanganku satu arah, tapi dengan jelas sepasang telinga ini begitu jernih merekam setiap langkah bahkan pertanyaan yang sudah kutahu akan kujawab dengan banyak celah. Tiba-tiba kau tersenyum lagi, “Siapa wanita itu?”
                Aku terdiam, sebenarnya menahan tawa. Bayangan di cermin melihat sebuah mahkota telah menempel pada kepalaku. Sebentar, sebentar, aku akan simpulkan itu secara alfabetis. Maukah kau mendengar penjelasanku! Kataku ringan.
                “Berbaliklah!” balasnya cepat.
                Mulutku terbuka secara pelan dengan tetap memandang cermin. Aku telah berencana mengatur nada bicara agar ia tidak bisa menduga ekspresi apa yang akan kukeluarkan. Aku yakin ia tidak akan curiga sedikitpun. Kecurigaannya tidak bisa mengalahkan logika yang sedang aku mainkan. Dan, aku sangat pandai untuk hal ini. Jelas seperti seorang mafia yang bergerak pelan tanpa meninggalkan jejak. Karena sebelum musuhku merasa sakit, ia sudah mati tanpa menoleh padaku. Lantas kuutarakan semua tentang wanita itu. Au membeberkan bahwa ia wanita yang kuanggap bukan hanya perihal.
                “Kau tahu, banyak lelaki yang kini datang merayuku setiap malam?” Katanya tiba-tiba memotong.
                “Entah.”
                Luka di cermin semakin menganga.
                “Pengecut kau!”
                Senyumku tiba-tiba mengembang mendengarnya berkata begitu. Aku tidak merasa kalah sebagai pengecut. Hanya begitu, jika aku membalikkan badan, aku adalah pengecut yang sebenar-benarnya pengecut.
                Bukti aku diam, aku bukan pengecut.
                “Kemarin,” Ia melanjutkan, “seorang bos sialan, ia mengajakku bekerja di kantornya, yang dulu kau ingat, saat kita masih suka mengadu nasib menyerahkan lamaran pada kantor-kantor, ya, bos itu, kini ia memintaku jadi sekertarisnya, padahal dulu satpam pun enggan melihat jejak kakiku di lantainya, apa aku adalah berkuasa sekarang?”, ia terdiam mengambil nafas, “huh jawablah!”
                “Ya.”
                “Dan, tahukah jika lamaran itu kutolak mentah-mentah, jangankan memandang wajah bos gendut itu, biarpun ia berubah ganteng aku tidak akan sudi bekerja di sana.”
                “Kau yang berubah.” Kataku mencoba berkata walau rasanya tenggorokan ini terlalu kering. Kuharap ia pergi saja. Namun, entah bagaimana nanti, jika ia pergi, dan jika ia tetap disini.
                “Hehe, kau membuatku tersenyum kecut. Tak salah aku datang ke kamarmu, kau sama saja seperti si gendut itu!”
                “Kau masih seperti dulu, mudah dijebak.”
                Ia cepat menyangkal, “Kau kolot! Kau akan selalu begini, miskin!”
                “Aku bahagia jadi diri sendiri. Miskin katamu! Toh aku makan tiga kali sehari.”
                “Sudahlah, tak guna aku bicara. Kau kolot!”
                Dalam bayangan cermin, keyakinanku bergema bahwa dengan cepat ia akan pergi. Mungkin ia muak. Tapi lama aku amati ia dari balik cermin, ia masih terus menyusuri tiap inci kamar. Sekarang ia berbaring di ranjangku. Aku melihat kakinya teracung-acung manja. Sepatunya belum dilepas.
                “Kau masih menyimpan fotoku? Jika masih, buang saja, itu tak perlu kau simpan.”
                “Kau salah, aku masih menyimpannya. Foto itu bukan kau, itu dirimu yang kukenal dalam hanya ingatan. Kau bukan lagi ia, karena aku tak pernah lupa.”
                “Oh, aku belum memperkenalkan namaku. Lupa.” Balasnya sambil cekikikan.
                Ia mengulurkan tangan. Dengan cepat aku menyimpan jari-jariku di saku. Ia menariknya dengan paksa. Aku bersikeras enggan. Tapi sekuat tenaga ia membuat tubuhku goyah lalu terjatuh.
                “Sudah siapa namamu,” Aku berdiri dan kembali menghadap cermin, “siapa heh?”
                “Tak usah, percuma!.” Jawabnya sambil menepuk pundakku keras. Ia kembali ke kasur dan mengacungkan kakinya yang kusadari semakin mulus memudarkan keyakinanku bahwa aku lelaki yang sama seperti lelaki lain.
                “Cuih! Pantas dengan wajahmu yang cantik. Tidak salah kau bergaul dengan bos gendut itu.” Pekikku.
                Cepat ia melempar sepatunya. Aku tersentak kaget.
                “Kau memang selalu bodoh. Ingat boy, terlalu jujur malah lacur. Kau umpat aku dengan si bos gendut itu. Padahal kau tidak tahu apa yang aku lakukan kemarin padanya saat ia memaksa terus, kutendang kelaminnya. Persetan!”
                Ia melanjutkan, “Harusnya kau ada disana saat itu. Ah, tapi kau nanti malah memberiku ceramah agama. Sudahlah.”
                Aku tertegun dengan kata-kata yang keluar dari bibir mungilnya. Sejenak kemudian aku tersentak melebihi sentakan yang ia buat. Kemarahanku sampai pada ujung. Kulihat luka di wajah semakin dan semakin menganga.
                “Sudah malam aku mau tidur.” Kataku sambil menunjuk pintu.
                “Secara tidak langsung kau mengusirku bukan? Alangkah lucunya kau, pantas saja kau bercermin sejak tadi, kau memang tidak pantas lagi bersanding denganku. Eh, lupa, kau sudah dengan gadis kampung itu, eh eh siapa namanya?”
                “Tak perlu kau tahu, aku takut kau cemburu dan malah menyuruh ajudanmu menerornya. Kau sekarang sudah jadi bos bukan? Lihat wajahmu, penuh jarum suntik!”
                “Tahi kau!”
                “Sebaiknya pergi saja, sebelum kau menghancurkan ruanganku.”
                Ia melangkah dengan angkuh.
Sesaat sebelum bayangannya hilang, ia menunjuk cermin. Dari jarak dekat, tidak samar lagi ia memang terlalu cantik. Berapa rupiah yang kau keluarkan untuk merubah hidungnya yang pesek? Tanyaku terkekeh.
                “Tahi!” Katanya sambil melangkah pergi.
                Bayangan itu hilang begitu saja tak berbekas, mungkin hanya seberkas wangi parfum yang kuingat masuk kedalam hidung. Sore, ya, sore itu.
               

Sukajadi, 2011

No comments:

Post a Comment