Ah, alangkah buruk rupamu hai pengintai. Jika saja aku tahu itu. Kau pasti bukan hanya menggonggong saja namun juga bertanduk. Lidahmu pasti berwarna merah darah, karena kau makan daging setiap manusia yang kau temui. Cakarmu setajam samurai. Sedang taringmu bagai sebuah baja panas, Menusuk tanpa membuat sakit berkepanjangan, karena saat kami sadar, kami terlalu cepat mati.
Anjing-anjing ada di pasar. Anjing ada di sawah. Anjing ada di kebun. Anjing ada di kantor. Anjing ada di DPR. Anjing ada dimana-mana. Anjing ada di hati siapa saja. Anjing menjelma dewa, menjelma dokter, pasien, satpam, petani, tukang tambal ban, dan anjing menyerupai seorang ustad di pasar malam.
Perburuan kami terhadap anjing setiap saat ternyata membuat mereka semakin beranak pinak. Jumlahnya bukan main sekarang, ada sekitar ribuan. Salah satunya sudah sangat renta, namun tetap perkasa karena anak-anak anjingnya terus menyuguhi sebongkah kemenyan, tujuh rupa kembang, dan darah segar. Anjing renta itu masih kuat menggonggong, srigala pun takut, bertekuk lutut.
Buruk sekali rupa itu. Ayah bercerita seakan tidak takut anaknya bermimpi buruk. Bayangkan saja saat itu usiaku baru menginjak 10 tahun. Bukan cerita Sangkuriang, atau Budak Pahatu yang dimakan ular. Hanya sebuah cerita seram tentang anjing-anjing berlumuran darah setiap saat. Jika ada timbul pertanyaanku kemudian, ayah hanya mengangguk. Namun, saat aku bertanya tentang dimana anjing-anjing itu hidup, ia menunjuk pada dadaku. Katanya disini, tepat diantara rasa yang membangkitkan segala pertanyaan dan jawabannya.
Aku harus hati-hati. Pagi, siang, sore, dan malam. Waspada tepatnya. Ayah menganggap anjing-anjing itu akan semakin buas di hari kemudian. Saat matahari tenggelam, suara bisikannya tepat sampai pada jantungmu yang berdebar ketakutan. Sepanjang malam aku akan menjelma menjadi anak ingusan yang berharap menemukan rumah pohon ketika anjing-anjing itu mengikuti langkahku. Jika tidak kutemukan. Binasalah aku.
Barangkali cerita ayah berubah nyata sekarang. Rumahku diintai setiap saat. Ayah yang dulu gagah menengahi setiap persoalan, kini hanya duduk di kursi roda sambil terus menatap lubang jendela. Diluar anjing-anjing pengintai terus saja bergantian menatap pada pintu kami, seakan mereka akan langsung berlari menjegal pintu kami jika ada seorang yang keluar. Kami hanya duduk termangu sepanjang hari.
Sekarang tepat pukul enam sore. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Suasana rumah semakin mencekam, apalagi kami tidak berani menyalakan lampu. Semuanya gelap, hanya sedikit cahaya sebatang lilin yang nyalannya terus diterpa hembusan nafas. Kupegang gagang telepon dan berharap seorang polisi akan datang segara, menghalau anjing-anjing itu, dan jika mereka mampu membunuh satu-persatu anjing itu. Percuma, kata Ayah. Percuma, polisi-polisi itu juga sebagian telah menjelma menjadi anjing.
Aku hanya diminta berdoa. Barangkali itu harapan terakhir agar besok pagi anjing-anjing itu lelah dan melanjutkan perburuannya di hutan saja.
Dan, ketika aku terbangun pagi hari. Kulihat bayangan anjing-anjing itu tampak jelas di dinding sebelah kanan tubuhku, di bawah lukisan ikan yang sedang berenang diterjang ombak.
No comments:
Post a Comment