Kututurkan sebuah kisah tentang bagaimana itu dimulai dan berakhir. Namanya juga kisah. Semua terserah pembaca yang menilai. Baik atau buruk atau barangkali serupa jamur di pohon anggrek atau barangkali kisah ini terlalu datar untuk disampaikan. Harap menjadi maklum. Saya terlalu riang menulisnya karena malam sudah terlalu larut dan teman saya sudah beranjak pulang ke rumahnya di bawah bukit sana.
Awalnya tersebutlah seorang lurah pada zaman ketika Soeharto menjabat pertama kalinya. Seorang lurah bertubuh gempal dengan janggut selebar dagu. Bajunya selalu hitam, kecuali ia sedang di kantor dengan seragamnya dan ketika memakai kolor sebelum tidur sampai ia terbangun dengan keringat sisa semalam. Yang paling kentara dari lurah ini adalah gaya bicaranya yang banyak menyebutkan pengandaian. Hebat ia untuk hal itu. Bagai sutradara dalam teater atau seorang penulis naskah kuno tentang perjuangan diponogoro.
Pembaca yang budiman. Ia adalah lurah dengan segala keahlian, ia pandai berkebun, bertani, dan membuat komposisi pupuk kandang. Keahliannya ini ia dapat dari ayahnya yang hanya mampu hidup hingga usianya mencapai 40. Namun, kenangannya yang telah membentuk ia menyerupai saat ini. Narrator yang pandai bercocok tanam. Kiranya begitu kisah ini dimulai.
Warga mengenalnya sebagai seorang yang lebih banyak diam daripada berceloteh tentang kebijakan yang akan ia buat. Maka ketika sebuah kata keluar, kerumunan pamong desa akan mencatatnya dalam sejarah. Raut mukanya berkerut pertanda ia memikirkan betul bobot ucapannya. Pulpen pun seakan bergetar ketika sekertaris desa akan memulai menulis konsep yang entah harus dimulai dengan kata apa.
Istrinya menilai sang suami adalah seorang idola yang telah meluluhkan hati. Puitis benar kata-katanya, bahkan karenanya ia rela memutuskan silaturahmi dengan juragan padi tetangga desa yang tersohor karena sawahnya berhektar-hektar. Menolak juragan itu ketika meminangnya. Anaknya menilai sang lurah sangat misterius. Tidak seperti lurah sebelumnya yang menjanjikan sawah warisan atau wasiat kekayaan. Hanya sebuah petuah “jadilah seperti bapak.” Katanya.
Kemasyuran sang lurah tergambar dari foto yang telah terpajang sejak ia menjabat di bulan ke-lima. Juru foto mengambil sudut terbaik, sampai-sampai ia terlihat lebih muda sepuluh tahun dari usianya yang menginjak 45. Pak lurah menyebut sang juru foto adalah orang terbaik untuk mengambil objek dari kamera. Dengan bangga ia selalu melihat fotonya yang terpajang di dinding sebelum membubuhkan tanda tangan dan selalu mengingat bagaimana ia harus tersenyum. Terlebih bagaimana juru foto mengarahkan kemana senyumnya harus berkembang.
Sesekali istrinya datang berkunjung jika sudah memasak sayur lodeh. Atau jika pak lurah meminta untuk datang saat rapat akan dimulai. Awalnya si istri bingung saat hansip ditugaskan memanggilnya atas nama pak lurah. Namun, akhirnya ia tahu karena setiap ada panggilan itu, maka ia telah siap dengan sebuah cermin, sisir, dan minyak rambut murahan. Istrinya ibarat dukun rias pengantin yang mendandani seorang aktor sebelum pengambilan shooting.
“Pak, bagaimana kalau kita di foto?” katanya sambil merapihkan baju belakang suaminya, “ya di foto seperti foto keluarga misalnya, kata bapak juru fotonya sangat berbakat.” Si istri melanjutkan sambil sesaat menoleh foto yang sedang tersenyum di sebrang meja.
“Nanti, kalau ada uang. Biayanya mahal Bu.” Jawabnya singkat.
“Janji?”
“Sebelum mati.” Lanjut pak lurah ketus.
Pembaca yang budiman. Malam semakin sepi, namun kisah ini masih panjang kiranya. Lagi dan lagi saya sebutkan, saya bukan pengarang ulung. Harap maklum.
Cerita berlanjut ketika suara adzan bergemuruh dari mesjid kampung. Kunang-kunang membawa nyala yang tidak terlalu besar, tapi beruntung listrik sudah masuk desa. Menerang jalan, menerangi bilik, dan menerangi ruang tempat pak lurah bercengkrama dengan istri dan kedua anaknya.
Sekarang pukul delapan malam. Rasa kantuk masih belum juga menyerang, sedangkan radio sudah tidak terdengar lagi gemuruhnya. Mereka saling memandang, dari satu mata ke mata lain, kemudian berlabuh pada foto pak lurah yang sedang tersenyum. Aneh, foto itu seakan terus ada dimanapun pak lurah berada. Barangkali sedikit gila jika foto itu dipajang di jamban saat bau berak bercampur kentut dan pesing air kencing.
“Pak, memang berapa harga satu kali jepret foto?”
“Ibu terus saja menanyakan itu sejak di kantor. Sudahlah!”
“Ya, berapa, barangkali Ibu punya uang!”
“Lima belas ribu, itu pun kita harus pergi ke studio foto abadi di tengah kota.”
“Ibu ada tabungan, atau ibu jual saja gelang ini.” Jawab istrinya sambil membuka gelang dan menerawangnya perlahan.
“Sudahlah Ibu ini, nanti saja. Bapak sudah janji toh.”
Istrinya hanya mengangguk. Kemudian mata mereka tertuju kembali pada foto yang belum juga surut senyumnya.
“Gagah betul foto bapak.” Kata si istri sebelum beranjak ke ranjang.
Pembaca yang budiman. Kini hujan turun. Sesekali tetesannya terdengar terlalu merdu. Oh, rangkaian itu bagai nada-nada yang terlalu teratur untuk tidak didengar. Saya teringat sebuah kisah yang diceritakan seorang teman. Namun, ia sudah dewasa. Hingga saya tahu kata-katanya mungkin benar adanya. Katanya jika membikin sebuah kisah jangan meloncat terlampau jauh di kisaran tahun. Ah, tak mengapa, saya hanya senang bercerita.
Begini. Setelah tidak terpilih kembali menjabat lurah. Pak lurah mulai bimbang. Ia takut orang tidak lagi menghormatinya jika bersua di jalan. Apa jadinya ia jika begitu. Sepanjang hari setelah pemilihan berakhir ia kerepotan menghadapi fakta yang sudah berjalan. Tetangganya yang dulu hanya anak ingusan, telah menjadi lurah. Ia berpikir terlalu keras untuk dirinya sendiri. Alhasil ia jatuh sakit. Sakit yang tidak ada obatnya. Sakit hati.
“Dibawa saja ke dukun atuh bu!” Kata tetangganya suatu siang.
Si istri diam. Suaminya memang tidak sakit. Ia baik-baik saja. Ia masih lahap makan. Masih suka merokok. Dan masih bisa bergumul di ranjang. Namun, mungkin karena ia semakin kurus dan pucat basi. Dan lagi suatu hari suaminya muntah darah. Tapi kesimpulannya tidak sakit.
“Lantas?”
“Sakit apa ya, bimbang saya menjawabnya.”
“Dukun bu.”
“Kau sama saja seperti yang lain Minah, suamiku tidak sakit. Kemarin muntah sekali, tapi tidak lagi. Lihatlah ia sedang tidur pulas sehabis mandiin ayam jagonya.”
“Nanti kenapa-kenapa bu.”
“Sebaiknya kita sudahi saja Min.” Kata istrinya lalu masuk ke dalam sambil memegang kangkung di tangannya.
Pembaca yang budiman. Hujan sudah mulai reda. Mari kita lanjutkan saja.
Selesai istrinya masak kangkung. Pak lurah sudah terjaga. Ia lalu mengambil kopi yang masih tersisa. Dipandanginya foto yang dulu ia kagumi, meski sekarang ia masih kagum, namun tidak sekagum dulu.
Pak lurah mengumpat keras tiba-tiba. Mulutnya bersumpah serapah. Nadanya tinggi. Istrinya kaget lalu menghampirinya. Saking tidak bisa bertanya, si istri hanya tertegun dan tidak lagi bisa mendekat. Sekarang jaraknya sektiar dua meter. Itupun terhalang oleh gorden tipis.
“Sialan si Amin. Ia mengalahkanku di pemilihan lurah kemarin. Apa ia main sogok. Kubunuh ia jika saja benar!”
Si istri mendatanginya kini, ia sudah tidak tahan mendengar umpatan suaminya yang keterlaluan, “Astagfirullah bapak. Kok bapak mikir gitu. Ini sudah takdir pak. Toh bapak masih mantan lurah, berarti pernah menjabat lurah.”
“Bisa saja. Toh, aku bakal calon paling kuat. Masa kalah sama anak bau kencur. Ini tidak adil. Pemilihan macam apa itu.”
“Lihatlah foto bapak, bapak masih gagah, bapak masih lurah bagi ibu. Lihat foto itu. Bapak juga janji akan membawa kami berfoto, bapak masih gagah kok.”
Pak lurah semakin marah. Ia semakin mengumpat. Istrinya kena semprot. “Kau menghinaku sekarang. Mentang-mentang aku sudah tidak jadi lurah. Apa maksudmu mengatakan aku masih gagah.”
Istrinya memotong, “Bapak…”
Namun pak lurah segera menimpali, “Istri macam apa kau!”
Sukajadi 2011
No comments:
Post a Comment