about

Tuesday, March 22, 2011

Madenda

Barangkali aku terlalu menghayal, maka tamparlah aku. Jika itu benar, barangkali namanya saja yang patut kuingat. Kami tidak hanya berpisah, kami sama-sama pergi dan dipisahkan.
                Koran pagi ini memberitakan kematian seorang gadis yang diperkosa. Menurut dugaan polisi, pelaku lebih dari dua orang. Hasil otopsi semakin menguatkan dugaan itu. Lembaran kedua mengisahkan pejabat yang berhasil lolos dari jeratan penjara karena kasus korupsinya tidak terbukti. Lembaran berikutnya iklan, lembaran berikutnya sebuah artikel tentang seni karawitan.
                Madenda, tiba-tiba aku kembali ingat namanya. Seorang pemuda tampan nan gagah yang selalu mengenakan baju hitam. Nama yang diambil dari salah satu laras tersebut kembali menggema dalam ingatan. Ia seakan hadir menyaksikanku dan menutup koran itu bersama.
                Lama sekali. Tanyaku dalam kebisuan.
                Matanya menatap kearahku, sambil berkedip ia meniupkan angin bersama hembusan kerinduan yang tidak juga hilang setelah lama tidak bersua.
                Dua tahun lalu ia adalah Madenda, sekarang ia juga Madenda. Madenda yang hilang dan dihilangkan. Aku tidak pernah melupakan pertemuan malam itu, ketika awan tidak menghalangi sinar bulan purnama. Di sebuah mushola kecil di pinggir kali. Ia datang dengan tiba-tiba membawakan sebuah kesegaran.  Tutur katanya, serta cara ia berjalan mengingatkanku pada almarhum bapak. Aku seakan menemukan kembali sosok yang lama hilang.
                “Madenda.” Katanya singkat mengawali pertemuan kami, “wudlu?” tanyanya cepat.
                “Di sungai.” Kataku mengisyaratkan.
                Ia membuatku berkedip dan melayang, bukan karena aku sedang berhayal tentang sebuah pertemuan yang tidak pernah terencana. Namun, lebih karena aku kagum pada gerak dan lakunya.
                Enda. Keluhku.
18 bulan lalu ia menghilang, padahal saat itu usahaku untuk mempertemukannya dengan Ibu berjalan baik. Ibu setuju pada keinginanku menjadikannya suami, mengingat usiaku sampai pada masa dimana aku sudah harus mempunyai imam.
Ia menghilang, tanpa kabar juga tanpa sinar rembulan.
Tersiar banyak kabar tentang kedatangan dan kepergiannya. Sesekali aku muak mendengar ketidakadilan yang Enda terima. Alasanku untuk tidak menerima itu karena memang aku lebih mengenalnya luar dan dalam daripada yang mereka tahu. Aku adalah hatinya jika ia berbuat, dan aku layaknya pikirannya saat ia akan berkata.
Enda, ia dikabarkan terlibat aksi terorisme dengan jaringan Al-Qaeda. Entah berita apalagi itu, jika benar pun itu bukan Enda yang kukenal. Hanya jelmaan Enda yang sedang ada dalam kepahitan atau kebenaran yang ia rasakan.
Kembali kuingat. Dalam menghabiskan masa yang indah, ia selalu menunjukan padaku tentang bulan. Kenapa ia bisa purnama dan kenapa bisa terang seperti sinar harapan. Katanya, lihatlah selalu purnama. Kau akan selalu mendapatkan segala ketenangan dan kebersamaan.
Ia, Enda adalah seorang purnama, tetap purnama meski awan hitam sekarang menghalangi.
Sejak kepergiannya, bulan selalu terang. Selalu kusempatkan untuk beberapa waktu berteduh dibawahnya sambil mengenang kembali bintang-bintang disampingnya. Tidak ada rasa curiga akan kepergiannya, semuanya berjalan tenang dan mudah.
Di mushola tempat dulu kami bersapa, tidak ada lagi aliran sungai yang terbasuh oleh jejak kakinya yang kokoh. Hanya seberkas kenangan, atau sebanyak ingatan yang terlupakan.
“Kau selalu ada saat purnama.” Begitu katanya mesra.
Sambil membelai angin malam, kesejukan terasa sampai tiada lagi angin malam yang dingin. Seperti seorang yang merindukan kehangatan, ia muncul membawa sebuah api kecil, lalu kami mengelilinginya sampai api itu padam. Kami jaga hangatnya.
“Ceritakan padaku apa yang kau tahu tentang purnama.”
“Mas,” Kataku, “kau adalah purnama.”
Mukanya menengadah ke langit. Tempat bulan berdiam diri menyaksikan betapa ia iri melihat kami yang sedang memandangnya penuh harap. Jawabanya sungguh kusuka. Sambil menunjuk ke atas, ia berkata, “Jika kau lelah, bulan adalah bejana yang akan menampung rasa lelahmu.”
Air mata tidak berhenti mengingat keindahan malam itu. Seketika kami ucap janji, sampai tiada hari tanpa dingin dan air mata. Kami hanya menghidupi kemenangan malam ini, tiada lain. Purnama bersinar.
Dan, mendadak kehebohan ini membuat aku muak
##
 “Cukup.” Kata Ibu sambil meyakinkanku untuk tidak lagi berharap purnama.
Sebagai sebuah gelas tentu aku adalah kosong dan berharap Enda mengisi dengan madu, namun ibu adalah pembentuk gelas itu. Bisa saja tubuhku retak jika kukatakan bahwa seharusnya memang aku terus mengenang ia. Mengenang keindahan malam itu. Sedang aku harus, aku harus betul menjadi anak berbakti. Sejak kecil. Namun cinta Enda adalah bakti yang sedang ingin kuberikan, jika bisa selalu saja kulakukan dua-duanya.
“Kenapa dengan Enda Bu, tak usah percaya dengan perkataan mereka. Selagi bukti masih tidak diketahui.”
“Sudahlah, kau pernah bercerita pada Ibu jauh hari. Kau adalah perempuan tegar yang akan bersuamikan seorang sarjana. Kalian akan menghabiskan masa tua dengan saling berbagi ilmu dan melengkapi. Apa kau lupa?”
“Aku adalah diriku saat ini, masa itu bukan masa sekarang.” Jawabku kesal.
Ibu seakan datang untuk memecahkan sinar purnama. Setelah lama kusimpan dan bersinar, ia melaju lebih cepat agar purnama itu tiada lagi terucap dari mulut.
“Bagaimana jika benar?”
“Sama sekali salah!”
“Aku sudah dewasa dalam hal ini, dan hatiku merasakan bahwa ia akan datang.”
Berbulan-bulan purnama terus bersinar.  Kabar tentang kedatangannya yang akan segera terus bergema melalui cahaya yang tak pernah padam.
Esok adalah hari pertama di bulan September. Ketika bulan redup, aku menggigil menantikan kabar yang sebenarnya usang untuk terus diteliti. Bukankah cinta butuh pengorbanan, dan aku siap untuk berkorban. Lalu bagaimana dengan korban. Akulah korban itu.
“Enda, itukah kau?”
Ketika mata terbuka, bayangan itu jelas semakin ada. Ia akan datang pagi ini. Mimpi semalam adalah sebuah teka-teki yang sudah tidak lagi buram. Itu nyata.
Enda datang dalam sebuah tulisan. Ia tertangkap sebagai kurir pemboman di kota kami.

No comments:

Post a Comment