Dalam pertemuan kemarin, kuanggap ia bukan siapa-siapa bagimu. Setidaknya karena aku sudah mengenalmu begitu lama. Namun, engkau memang sulit ditebak, diammu bukan mengisyaratkan sesuatu, tapi bicaramu tetap juga tetap misteri. Berjuta keinsyafanku juga tidak berarti ladang hijau bagi kita. Tapi, toh aku sudah terlalu lama mengenalmu.
Seperti siang itu. Saat kutawarkan padamu sebuah kebanggan yang selalu aku sendiri banggakan. Engkau tidak sama sekali menoleh. Malah, kau dengan sedikit risih berkata terima kasih. Aku sendiri bukan orang awam, aku juga mengerti apa arti ucapan itu. Jika saja aku bisa marah, niscaya rasa itu meledak bagai petasan saat musim kawin. Sampai aku berpura-pura kehilangan kesadaran, setelah kau mengucap kata-kata itu, aku beringsut memendam ego. Dengan banyak alibi, aku berpura-pura kehilangan segala yang nyata. Engkau, engkau bukan tidak mengerti. Selalu aku tahu, rupamu begitu dangkal jika kusamakan dengan keresahan ini. Mungkin hanya kau sendiri yang akan tahu apa ini kepura-puraan atau memang betulan. Kuharap kau tersenyum, tapi lantas kau tak bergeming melenggang tanpa menoleh.
Sementara pohon-pohon melambai padaku, aku berusaha melambaikan juga tangan padamu. Kuharap kau berbalik. Nihil, ternyata dugaanku salah sepenuhnya. Engkau terus melaju bersama seorang yang bukan kuanggap musuh.
“Tunggu.” Teriakku dengan nada kosong.
Kau masih juga tak menoleh.
“Jangan kau buat aku begini.” Kataku lagi.
Kau masih belum juga mendengar. Punggungmu yang rata telah beranjak pergi digoyangkan oleh kakimu sendiri. Sampai-sampai, dari arahku, kau telihat berjalan angkuh. Kesadaranku kembali pulih. Aku berlari sekencang angin. Kau! Tunggu! Teriakku entah pada telinga siapa.
“Mas, aku sudah memutuskan.” Katamu setelah membalikkan badan.
Aku terengah.
“Aku sudah putuskan untuk tidak lagi mengenalmu, bukankah itu sudah jelas. Seperti inikah sifatmu yang kau agungkan, sifat dewasa seorang lelaki.”
“Kau sendiri menghianatiku!” Bentakku.
Lelaki disampingnya diam.
“Siapa yang berbuat begitu?”
“Kau!”
“Bodoh.”
“Aku memang. Dan, ingat satu hal, perkataanmu ini bukan hal yang baik untuk kuingat. Tapi camkan, jika suatu saat kau menyesal, aku tidak akan sama sekali menoleh padamu barang satu detik!”
“Sumpah katamu,” ia mengambil nafas, “Sumpah apa yang kau inginkan?”
“Kau yang melanggar sumpah.”
Angin bertiup pelan, membawa debu-debu tak beraturan. Terbang, hinggap di satu tempat, lantas terbang lagi tanpa ada yang peduli. Sebagian sumpah serapah memang sudah mulai mereda. Ketika itu aku begitu marah padam memang, tapi ia tidak melayani sama sekali. Mukanya datar. Raut itu masih menggema dalam jengkal-jengkal otak. Sampai ketika aku berusaha mengiyakan bahwa, katanya, aku harus pergi, kemarahanku semakin menjadi.
“Kuminta satu pinta, dengarkan aku untuk beberapa menit saja! Akan kuceritai kau sesuatu.”
Ia mengangguk pasrah, sementara lelaki disampingnya tidak berbuat apapun selain terus memandangku curiga.
Begini: Dahulu, seekor angsa cantik tercipta, ribuan jantan berusaha mendekatinya setiap ia bermanja-manja suatu sungai. Ia memang terlanjur dikutuk oleh kecantikannya, dikutuk pula hingga nyawa-nyawa lain melayang. Banyak dari angsa jantan menyerah, juga banyak dari mereka mati bunuh diri. Mengerikan, mereka membunuh diri dengan terbang setinggi mungkin sampai tubuhnya tidak mampu lagi terbang, terjun cepat, lalu mati mencium tanah.
“Sudahlah jika itu aku yang kau maksud.”
“Permintaanku hanya waktu.” Kataku memotong di depannya yang sedang mematung.
Ia terdiam. Lelaki disampingnya mengerling pada arloji.
Sampai suatu saat, Angsa yang dulu begitu dipuja dan dipuja, akhirnya merasa sepi untuk kali pertama. Ia malas menggerakkan kakinya saat berjalan di tepi kolam. Ia bahkan malas untuk membuka mulut. Dianggap angsa itu mati, ternyata tidak. Ia sedang berpikir.
Begini kata si angsa:
Akan kubuat sebuah perlombaan. Seperti para putri yang akan dipinang. Aku akan meminta sebuah mahar mahkota dari negeri buaya. Mahkota dengan deretan gigi-gigi dari leluhur kaum mereka. Sudah lama aku mendambakannya.
Berita itu cepat tersebar. Si angsa cantik sudah kembali segar. Banyak dari kaum jantan mencoba, namun sebagian besar hanya menggeleng kepala. Mustahil. Kata mereka. Itu sama saja menyerahkan nyawa pada sang maut. Andai pun berhasil, si buaya akan membalas dendam karena pusaka mereka dicuri hanya oleh makhluk tak berdaya berbulu putih.
Tersiar kabar, 70 angsa telah mati. Daging mereka terkoyak saat sebelum mereka bisa masuk ke dalam sangkar buaya. Kebanyakan daging-daging mereka dilahap tanpa hitungan detik. Saat itu buaya menjadi keranjingan. Ia begitu senang karena mangsa datang sendiri tanpa harus ia berburu. Buaya-buaya yang lapar sekarang berubah gemuk. Kaum mereka dengan cepat beranak-pinak.
Sampai suatu hari, seekor angsa jantan muda datang pada si buaya di satu pagi. Buaya yang baru saja berjemur, terkekeh. Ia mengintip berpura-pura menutup mata.
Dengan gemetar, angsa muda itu mendekat, lantas ia membangunkan buaya tersebut.
“Tuan, ijinkan hamba datang untuk memohon meminjam mahkota tuan. Jika tuan berkenan, satu hari kemudian akan hamba kembalikan dengan nyawa yang akan saya berikan kemudian. Jika tuan merasa belum cukup, akan kugandakan tubuhku bagaimanapun caranya. Tapi, jika tuan tidak percaya, tuan bisa melahapku sekarang.”
Buaya itu membuka mata, dihadapannya seekor angsa muda sedang menyembah. Buaya keheranan. Mangsanya sekarang sudah sangat pasrah.
“Sehari katamu?”
“Ya. Itu pun jika tuan berbaik hati.”
“Apa tujuanmu mengambil mahkota kaum kami?”
“Hamba sudah sangat cinta pada angsa ratu, biar ia tahu bagaimana aku berjuang mendapat itu. Besok juga akan hamba kembalikan. Hanya satu hari.”
“Setelahnya?”
“Tuan boleh melakukan apa saja.”
“Baik, satu hari, kebetulan sekarang aku masih kenyang, mungkin besok aku lapar.”
Lantas si angsa muda pulang membawa mahkota dengan bertaruh nyawanya sendiri. Bukan hanya keringat atau sepotong daging, tapi perihal nyawa yang akan ia serahkan. Namun, ia begitu bangga karena akan datang seorang ratu meski hanya sehari. Ratu angsa.
Siangnya si angsa muda datang pada angsa betina. Dengan cepat angsa muda itu berenang menghampiri calon istrinya tersebut.
“Ratu, kubawakan padamu mahkota yang kau impikan.”
Si angsa terkejut. Ia dipanggil ratu, dan ia memang akan menjadi ratu dengan mahkota yang sebenar-benarnya mahkota. Dihampirinya angsa muda, matanya menoleh pada mahkota yang tersembunyi dalam sayap kirinya. Sedikit tersembul gigi-gigi buaya berkilauan terkena sinar matahari dan dibiaskan air danau.
“Aslikah mahkota ini?”
“Tentu, nyawaku kutaruhkan.”
Si ratu sumingrah. Mahkota itu disematkan pada kepalanya. Dengan bangga ia mengelilingi danau yang riak airnya tidak terlalu bergelombang. Kepalanya bergoyang-goyang, lantas dikibaskannya sayap hingga air menciprat dari ujungnya. Ratu itu terbang sejenak lalu terjun santai sambil menegakkan kepala sedikit.
“Sudah lama kuimpikan.” Katanya sambil terengah.
“Demi ratuku.”
Wanita yang sedang mendengarku bercerita meneteskan air mata. Ia menutup mukanya dengan sapu tangan. Aku melanjutkan cerita:
Malam hari, ratu angsa itu bergembira. ia sangat bangga dengan mahkotanya, sampai-sampai ia terus berkeliling memamerkan mahkota itu pada kaumnya tanpa henti. Sedangkan angsa muda sudah tidak bisa berbuat apa-apa, pikirannya akan sampai hanya besok pagi, hidupnya.
“Ia pangeranku sekarang!” Teriak ratu angsa di atas batu.
Semua angsa terpana. Tapi, sebagian dari mereka berseru nama angsa muda. Ia dianggap pahlawan yang sebenarnya. Ia berani menghadapi maut. Yang paling mereka kagumi adalah bagaimana ia bisa mengambil mahkota itu tanpa satu helai bulu pun yang rusak.
Akhirnya, ketika pagi menjelang. Ratu angsa yang sudah terlelap dengan mahkota masih di kepalanya. Angsa muda kemudian pelan mengambil mahkota itu dan pergi menuju sarang buaya.
Wanita yang sedang di hadapanku melongo. Ia menjepit bibir dengan giginya. Matanya berbinar.
Ketika sampai, si buaya sudah siap mendapat persembahan.
“Kau menepati janjimu.”
“Ya.” Kata angsa muda.
“Sebenarnya aku tidak begitu tega, apalagi tersiar kabar tentang keberanianmu. Tapi aku juga harus menepati janji. Dan, aku akan memakanmu. Kau siap?”
“Sesuai apa yang hamba janjikan tuan.”
“Lantas, apa angsa muda itu mati?” Tanyanya sambil mendekatkan wajahnya pada wajahku yang sedang menunduk.
“Ya.” Kataku.
“Mas, lelaki yang sekarang menjadi pendampingku bukan sembarang lelaki. Ia adalah angsa yang memberikkan mahkota itu.”
“Lelaki tua itu?” Tanyaku masih heran.
“Ya.”
“Buktinya?”
“Ia yang selama ini memberiku kebanggaan, sedangkan kau mas, kau masih belum mengerti apa yang aku butuhkan.”
“Tapi aku sudah berjuang mencari bekal untuk kita kawin. Lihat, sekarang aku sudah bisa memiliki apapun, aku berjuang.”
“Bukan soal harta mas,” ia menghela nafas, “ini soal bagaimana cinta itu hidup.”
“Bohong! Bohong!” Kataku sambil melangkah pergi.
Kuharap ia akan memanggilku seperti yang kulakukan sebelumnya. Atau kuharap ia akan mengerti perjuangan angsa-angsa yang mati berjuang mendapatkan mahkota.
Tapi, ia tidak melakukannya meski ia mempunyai mulut!
Babakan sukajadi, 2011