Tuhan (hanya) bersama orang-orang desa
Kejadian ini terjadi kemarin lusa. Seorang kawanku yang baru datang dari ibukota bercerita penuh keyakinan. Bukan sebuah kisah tentang bagaimana ibukota yang megah, bukan pula gedung-gedung seperti di televisi, atau barangkali kendaraan mewah yang hilir mudik meramaikan siang dan malam, juga tentang bagaimana macetnya jalanan disiang hari.
“Barangkali Tuhan hanya ada bersama orang-orang desa.” Ceritanya sambil menepuk pundakku.
Ia kemudian duduk di sampingku. Sambil memesan kopi hitam seperti biasa, seperti hari-hari biasanya; kopi dengan sedikit gula, takaran kopi tiga sendok makan, serta air yang mendidih. Mbok Ratmi seakan sudah mengerti semuanya, seperti telah menjadi ingatan baginya pada setiap pelanggan, khususnya kawanku yang satu ini, ia memang sedikit royal untuk urusan kopi.
“Rokoknya sebatang.” Pintanya kemudian.
“Kau merokok sekarang?” Tanyaku heran sambil menatap wajahnya.
“Ibukota.” Jawabnya singkat.
Ia menyalakan dengan terburu-buru, sampai beberapa kali batang korek tersebut jatuh. Aku mengambilkan beberapa yang ada di tanah. “Kau bukan perokok yang handal.” Sindirku.
“Kau bukan seorang kawan yang mau menyalakan korek untuk bosnya.”
“Memang.”
Nafasnya mulai teratur saat kopi sudah dihirup dan sebatang rokok menyala dengan sempurna. Aku dan Mbok Ratmi terdiam menunggu kata-kata yang akan keluar lagi, aku sendiri heran dengan dugaannya yang sedikit sinting. Saat ia belum juga mengeluarkan kembali kata-kata, rasa penasaranku memuncak, “Apa maksudmu dengan Tuhan…”
“Tuhan hanya bersama orang desa?” Potongnya cepat. Dihirupnya rokok kretek murahan itu dengan sangat pelan, lalu ia menghembuskan asap-asap itu menuju udara, mengepul kemudian hilang tertiup angin sore.
Aku terus mengamati mimik mukanya. Sementara pikiranku terus menduga akan hal apa yang barangkali ia ucapkan, mungkin pembelaan atau penarikan kembali ucapannya atau sejenisnya. Entahlah, ia terus saja menghirup rokok dengan tiada henti. Ketika asap di tenggorokannya sudah keluar melalui hidung dan mulut, ia menghisapnya lagi. Aku hitung ia telah delapan kali melakukan hal itu sementara aku tidak beranjak dengan muka mengamati.
“Kau masih seperti dulu.” Kataku dengan segera setelah ia tidak juga membuka mulut. Suasana kaku menjadi sedikit cair saat teh manis hangat menyentuh tenggorokan.
“Apa kawanku ini penasaran?”
“Tentu. Bagaimana?”
“Kuceritakan padamu, hanya kau orang pertama yang ingin kuajak bicara masalah ini. Ini merupakan kesimpulan dari perjalananku ke ibukota. Selebihnya jika Mbok mendengar, mungkin ia akan sedikit tidak mengerti dengan ucapanku. Jadi, kuharap kau mengerti sebagai orang yang pernah mengenyam bangku sekolah.”
“Huh kau mengejekku. Aku selalu lebih pintar darimu di kelas. Selalu, dari SMP sampai SMA.”
“Ya, tapi kau tidak kuliah bukan?”
“Memang kau juga kuliah.” Sindirku, “sudahlah, apa yang kau ingin ceritakan?”
Mulanya hanya sebatas bagaimana ia bisa sampai kembali lagi ke desa. Katanya, ibukota lebih kejam dari ibu tiri, dan lagi semua orang terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Pagi hari ketika akan ikut Pak Sahuri bekerja di sebuah proyek pembangunan gedung, semuanya berjalan dengan baik tanpa ada kesulitan. Selama beberapa minggu bekerja, mandor yang mengawasi proyek sangat suka dengan cara ia bekerja. Sampai-sampai mandor yang kata Pak Sahuri sangat tidak menyenangkan ketika menegur kesalahan pegawainya itu mendadak lunak ketika ia memperlihatkan bagaimana seorang lulusan SMA ini bekerja.
“Kau menikmatinya? Lalu kenapa pulang? Apa gajinya kecil, katanya di ibukota uang berlimpah?” Aku memotong sambil mengipaskan tangan depan hidung, sedari tadi asap rokoknya terus membuat pening saat kuhirup.
“Rasa penasaranmu selalu membuat dirimu terlihat bodoh dari dulu. Aku belum selesai.” Ia mendahem pelan, suara tenggorokannya basah, “begini, aku sangat menikmati semua yang berlangsung…” Ia mengerutkan keningnya, “tiga minggu, tepatnya 24 hari. Ya, 24 hari. Namun, udara di sana membuatku merasa aku tidak bertuhan.”
“Itu pertanyaanku. Tuhan apa maksudmu?”
Ia memukul kepalaku sambil tertawa. Mbok Ratmi yang sedari tadi heran mendengar cerita kami tiba-tiba membentak. “Lanjutkan.” Katanya penasaran.
“Betul, asal jangan kau sebut Mbok juga bodoh, kuwalat kau nanti.” Aku menambahkan.
Sebelum melanjutkan, ia membuang rokok lalu menginjak sisanya dengan kaki kiri. “Begini, aku sudah tinggal disana selama satu bulan kira-kira. Sekali aku pernah mengunjungi sebuah mall mewah. Ada sebuah kejadian yang sangat tidak masuk akal. Saat itu sengaja aku bergegas pergi karena sudah larut sore, dan lagi aku sudah capek setelah bekerja sampai siang.”
“Kau menyempatkan ke mall? Bergaya kau seorang buruh mengunjungi tempat orang-orang kaya seperti itu.”
“Justru itu, aku langsung bergegas disamping aku hanya ingin tahu, juga dompetku tidak akan cukup untuk membeli barang-barang yang serba mahal. Ya, aku bergegas saja keluar. Aku tersadar saat langit sudah gelap, dan suara adzan terdengar pelan dari sana. Aku melangah menuju mesjid. Agak jauh, lumayan.”
“Bagus, aku bangga, kau tidak pernah lupa lima waktu.” Sahutku tiba-tiba.
“Bagus, kau selalu memotong tiap aku bicara.”
Aku tertawa keras. Sambil menepuk pundaknya, aku menyuruh agar ceritanya dilanjutkan dengan aturan tidak banyak memotong lagi dan lagi. Sepertinya ia mulai serius. Katanya melanjutkan, mesjid disana sangat ramai dikunjungi warga. Saat melangkah, dari jarak beberapa ratus meter, orang-orang dengan belanjaan ditangan mereka berjubel memenuhi halaman mesjid. Aku menjadi sangat terkesima dengan pemandangan ini. Kaki ini semakin cepat melangkah. Perasaanku mengatakan akan menjadi pengalaman luar biasa, tidak bisa dibayangkan bagaimana sesaknya mesjid tentunya. Namun, setelah masuk, hanya ada beberapa orang yang telah selesai salam. Aku tentu sangat heran.
“Hubungannya dengan Tuhan hanya ada di desa?”
“Itu yang menjadi pikiranku kemudian. Bukan sekedar pikiran, namun juga pertanyaan yang harusnya kau bisa menjawab.”
“Lho, bukankah kau yang menyimpukan hal tersebut. Lalu, apa urusannya denganku?”
“Kau mungkin setuju.”
“Aku belum menduga hal itu. Jelaskan lebih rinci?” Pintaku semakin tidak sabar.
“Begini, aku berpikir jika terlalu banyak Tuhan di Ibukota sana atau barangkali sama di kota-kota besar lainnya. Bukankah dari kejadian yang aku alami itu menjadi sebuah kesimpulan bahwa mereka mempunyai banyak Tuhan, mungkin Tuhan di mall sana yang lebih penting untuk dikunjungi, atau barangkali Tuhan-Tuhan yang terus diburu sampai mereka lupa bahwa mesjid bukan hanya tempat persinggahan untuk menghilangkan rasa lelah setelah lama berburu Tuhan-Tuhan.”
“Tuhan yang mana? Kau menyebut semuanya Tuhan?”
“Bukan berarti aku musyrik, namun kesimpulannya adalah bahwa Tuhan mungkin murka pada mereka, buktinya aku tidak sama sekali menemukan ketenangan di ibukota. Itu bukti Tuhan telah hijrah ke desa.”
“Hus, bukankah Tuhan itu satu dan ada mengawasi semua tempat,” aku menambahkan, “hati-hati kau tersesat.”
“Dengar dulu. Tuhanku tentu satu. Lalu aku kira mereka hanya mengganti Tuhan dengan benda, uang, atau sejenisnya. Lihat saja di tv, semua orang berlomba mencari segala hal duniawi seakan itu adalah Tuhan mereka.”
Aku mengangguk setuju, “Kau benar.” Aku mengiyakan. Tidak kusangka temanku ini begitu bijak dalam hal ini.
“Lihat di sini. Kami akan pergi ke mesjid saat adzan berkumandang, mereka hampir semuanya sengaja meninggalkan pekerjaannya di sawah atau ladang. Kami hanya menyembah satu Tuhan. Dan itu menandakan bahwa niscaya Tuhan akan bersama orang-orang desa. Aku yakin Tuhan maha penyayang pada umatnya, namun apa bukan perbuatan hina mengganti Tuhan dengan materi. Jadi...,” Ia menyambung, “Mbok rokoknya satu lagi.” Katanya spontan.
“Apa rokok adalah Tuhan yang kau bawa dari ibukota.” Tanyaku terkekeh.
“Sialan kau.”